Friday, 13 March 2015

MAAFKAN AKU :'(

MAAFKAN AKU :'( 


Pagi ini tidak jauh beda dengan hari kemarin dan hari hari sebelumnya, masih sama. Tidak ada yang berubah, masih penuh dengan rangkaian aktifitas yang sama yang sudah menunggu untuk di kerjakan.  Rasanya kehidupan ini tidak ada warnanya, rata bagaikan kertas putih tanpa gambar yang menarik.
Aktifitas seperti ini sudah aku lakukan hampir 5 tahun, aku melakukan semuanya dengan sama semenjak aku bekerja diperusahaan swasta di kota padang. Rasanya selama itu pula aku tidak menjenguk orang tua ku dikampung. Namaku Joshua, aku bekerja sebagai manager marketing diperusahaan itu. Memang tidak memudah mendapatkan jabatan ini, aku akui aku berhasil sampai ketahap ini karena usaha keras ku dan doa dari kedua orang tuaku.
Terkadang aku merasa malu untuk menghubungi orang tua ku dikampung, bukan karena aku  malu karena memiliki orang tua yang sudah tua dan renta. Tapi karena aku belum memberikan apa apa kepada mereka selama aku bekerja. Aku akui, kesibukanku juga menjadi salah satu penghambat besar untuk aku menghubungi mereka dikampung.
Sebenarnya setiap malam aku selalu termenung, memikirkan apakah mereka dikampung sehat sehat saja? Apakah mereka merindukan ku? Apakah mereka tidak membutuhkan sesuatu ? apakah mereka ? blab la bla begitu banyak pertanyaan dibenakku.
Lima tahun bekerja diperusahaan ini membuat aku menjadi anak yang tidak sensitive kepada orang tuaku, berbeda dengan aku dimasa sekolah dulu. Hampir setiap menit aku memperhatikan semua kebutuhan orang tuaku. Mungkin karena dulu aku tinggal satu kota dengan mereka, aku juga merupakan anak satu satunya mereka.
Sudah seminggu ini pikiranku semakin berkecambuk, rasanya ada sesuatu yang salah dengan kehidupanku. Seminggu ini aku bermimpi buruk, seperti ada yang buruk yang akan terjadi. Tapi aku tidak tahu apa itu. Terkadang dalam mimpi aku melihat ibuku tertawa diatas tempat tidur rumah sakit, terkadang aku melihat sedang berdiri dibesarnya ombak lautan.
Aku benar benar tidak mengerti dengan mimpi mimpi itu, seperti ingin menjelaskan sesuatu. Tapi aku benar benar tidak mengerti. Selepas malam aku selalu merasa nyawaku kembali, mungkin karena aku terlalu memikirkan mimpi mimpi yang tidak mengenakkan itu.
Pagi ini aku kembali melanjutkan aktifitasku, dan seperti biasa aku sengaja menutup hati nuraniku untuk menghubungi ibu dan ayahku dikampung.
Pagi ini aku sarapan dengan roti dan susu, rasanya memang tidak senikmat masakan ibu dikampung. Tapi apa boleh buat, kehidupan dan ekonomiku sudah berubah. Semuanya harus disesuaikan dan harus menjadi gaya hidup baru ku.
Selesai sarapan aku mengambil tas kantor yang sudah menanti di sudut sofa ruang kerjaku. Selama perjalanan aku hanya menatap kekiri dan kekanan kota ini. Kota tua yang besar dan modern, untung aku memiliki supir. Jadi setiap menuju perjalanan ke kantor aku bisa sejenak menikmati pemandangan kehidupan jalanan dipagi hari.
Terkadang mataku tak sengaja melihat pemandangan yang memilikukan, seorang ibu tua berjualan Koran di tengah lampu merah. Terkadang aku membayangkan apa jadinya ibuku jika seperti dia. Apakah anak anaknya tidak ada yang perduli pada ibu penjual Koran itu? Kadang pertanyaan itu justru yang menyindir dan menampar hatiku sendiri.
Sudahlah, mau sampaikapan aku menyalahkan perasaanku. Sesampai dikantor aku disambut dengan senyuman senyuman palsu dari para karyawan yang sebenarnya sudah terlihat muak dengan aktifitas kerja yang itu itu saja. Sebenarnya aku tidak jauh berbeda dengan mereka. Hanya saja nasip ku lebih baik dari mereka yang hanya pekerja biasa.
Belum berjalan satu jam, mendadak hatiku benar benar sudah seperti api yang membara karena marah. Kenapa aku membiarkan kehidupanku seperti ini? Kenapa aku tidak mencoba menghubungi ibu dan ayahku?
Tanpa aba aba air mataku menetes dan semakin deras, ini pertama kalinya aku menangis seperti seorang pria yang masih kanak kanak. Kubuka tas kerjaku dan kuraih handphone ku, betul saja sepertinya jemariku ikut bersemangat menekan nomor rumah tetangga ibuku dikampung.
Sekali lagi aku malu mengakuinya, pekerjaanku yang mapan memang tidak mengubah keadaan orang tuaku. Jangankan membangun sebuah rumah yang nyaman untuk mereka, telfon rumah atau handphonepun tak satupun kuhadiahkan kepada ibu dan ayah.
Selama ini aku bisa membeli mobil yang kuinginkan, tetapi telfon saja tak pernah kubelikan untuk mereka. Menunggu beberapa saat akhirnya telfonku diangkat.
Selamat pagi, ini dengan siapa ya? Jawab mbok surti si tetangga ibuku
Ini Joshua mbok, apa kabar? Sahutku malu
Mbok baik jo, kamu gimana? Sudah lama sekali tidak ada kabar darimu. Apakah tidak kangen dengan ibu dan ayahmu nak? Sindir mbok kepadaku
Hahahha bisa saja mbok, saya sehat mbok. Ia kemarin kemarin memang sedang sibuk saja pekerjaan saya. Oh ya mbok, ada ibu disebelah? Tanyaku sambil berharap si mbok tidak menyindirku lagi
Oh… rumahmu kan kosong, kan sudah 1 minggu rumahmu tidak ditinggilai bapak dan ibumu jo. Kan ibu mu sedang sakit, jadi bapakmu pergi menemani ibumu ke rumah sakit yang ada di kabupaten, piye toh jo? Kok kamu ndak tau? Mbok kira kamu malah udah nyusul kerumah sakit. Kata mbok sambil sedikit marah
Rasanya mendengar kabar dari mbok surti  membuatku malu, marah dan sedih. Malu karena aku sendiri tidak tahu bahwa ibuku sedang sakit dan sudah dirawat selama 1 minggu. Marah karena aku begitu tega tidak memperhatikan mereka selama 5 tahun ini. Aku sedih karena mendapat kabar seperti ini dari orang lain.
Aku tidak menyalahkan orang lain karena tidak mengabariku, karena ini sepenuhnya salahku. Setelah selelsai menelfon aku langsung berlari keluar ruangan dan menju rumah. Dalam perjalanan pulang aku menelfon sekretaris dan atasan ku untuk minta cuti.
Tanpa piker panjang aku langsung meminta supirku menuju pelabuhan. Aku hanya membawa dompet dan hanphoneku, tak satupun baju yang kubawa, tidak ada kendaraan lain untuk bisa menuju rumah orang tuaku, mereka tinggal disebuah pulau kecil, nama pulau itu adalah sikakap. Pulau kecil yang indah dan sangat sulit mencapainya.
Karena sudah tidak ada pilihan lain aku langsung membeli tiket dan menuju kapal. Memang tidak begitu mudah mendapatkan tiket, karena aku membelinya dadakan tanpa memesan dan mengantri terlebih dahulu. Saat itu ratusan orang dengan tujuan yang sama denganku berusaha berebutan membeli tiket.
Cuaca dan kondisi laut sepertinya sedang tidak bersahabat. Awan hitam sudah menanti kapal ditengah laut. Keadaan saat itu lumayan menggetarkan niatku, apakah aku akan tetap berangkat dengan kondisi cuaca seperti ini? Belum lagi padatnya kapal itu. Manusia sudah seperti semut yang membanjiri sebuah baskom besar.
Rasa rindu dan panic karena ingin melihat keadaan ibu membuatku tidak pikir panjang lagi. Aku menenangkan hatiku untuk tetap tenang dan tidak perlu takut. Aku yakin aku akan baik baik saja. Beberapa menit kemudian kapalpun mulai bergerak, suara serene menandakan kapal akan segera meninggalkan dermaga.
Sepertinya kapten mengetahui keresahan hatiku, dia mengumumkan menggunakan microphone bahwa perjalanan akan baik baik saja, cuaca aman dan tidak akan mengganggu perjalanan. Jujur saja, pernyataan dari kapten itu menenangkan hatiku.
Baru dua jam perjalanan, cuaca semakin tidak bersahabat. Petir mulai bergantian menhentakan jantung ku dan semua penumpang. Hujan deras dan angin kencang membuat suasana semakin tidak karuan. Ombak lautan semakin arogan, lautan seperti ingin menggagalkan niatku. Atau alam memang marah karena aku sudah terlalu lama menyadari kebodohanku selama ini.
Jantungku seperti mau copot, keadaan semakin tidak mengenakan hati. Kapal yang aku naikipun sudah mulai miring kekanan, ini pasti karena pihak jasa terlalu banyak menerima penumpang. Miringnya kapal membuat keseimbangan kapal semakin tidak terkontrol lagi. Satu persatu barang barang berjatuhan, barang bawaan penumpang mulai masuk kedalam dasar laut tanpa hentinya.
Mataku melihat dengan jelas karung karung besar, motor, ternak mulai berjatuhan dan ditelan ombak dengan lahapnya. Jeritan manusia manusia itu semakin keras  memecahkan suara petir pada malam itu. Aku tercengang, kucari pegangan terkuat, aku hanya bisa memegang tiang besi disebelah kursi.
Mataku semakin tak henti terbelalak saat melihat sekarang manusia yang mulai berjatuhan ke lautan. Tak tanggung tanggung aku bahkan melihat anak kecilpun menjadi korban kecelakaan. Ombak semakin lahapnya menanti manusia manusia yang sudah mulai terlepas dari pegangannya.
Peganganku mulai melemah, keadaan kapal yang miring membuat peganganku terpelas. Untungnya sebuah kursi dikapal itu bisa kuraih, seperti ada yang menarik kakiku dengan keras. Saat mataku melihat kebawah, ternyata seorang ibu hamil sedang berpegangan dikakiku. Ingin rasanya aku membantunya, tapi jika aku melepaskan genggamanku maka kami berdua akan mati bersama sama.
Kondisi semakin campur aduk, kapal mulai diselimuti air. Sepertinya aku harus keluar dari kapal ini atau aku akan ditelan ombak bersama sama dengan kapal ini. Entah apa yang membuat tiang penyangga kursi itu patah, dalam hitungan detik aku dan ibu hamil itu tenggelam.
Aku berusaha menarik tangannya didalam air, sementara tanganku yang satu lagi masih berpegangan dengan kursi itu. Untung saja kursi itu berbahan plastic dan mengapung. Tubuhku tertarik kepermukaan dan untung saja ibu hamil itu pun berhasil ku raih.
Kami berpegangan dengan kursi itu, ibu hamil itu sepertinya sudah tidak tahan lagi. Tanpa berfikir lagi aku ambil ikat pinggang kerja yang masil melilit di pinggangku dan kuikatkan ke pergelangan tanggannya dan kuikatkan sisi lain ke tanganku. Ini untuk mengantisipasi kalau tiba tiba ibu hamil itu pingsan.
Entah apa yang terjadi pandanganku mulai kabur dan gelap. Sepertinya aku pingsan, beberapa saat sebelum pingsan bibirku sempat mengucapkan ibu aku pasti akan pulang dan menjengukmu serta memelukmu. Maafkan kesalahanku ibu. Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi selama aku pingsan. Tapi saat tersadar aku sudah berada diperahu karet dengan penumpang yang selamat lainnya.
Aku ingat diatas perahu karet itu ada seorang kapten yang selamat, dan 1 diantara tujuh penumpang lainnya adalah ibu hamil yang kuselamatkan itu. Untunglah kami diselamatkan dan diangkat ke perahu karet.
Diatas perahu karet itu ada sedikit makanan yang tersisa dan mereke pungut saat mengapung didekat tenggelamnya kapal itu. Makanan itupun sedikit sekali jika dibandingkan dengan kebutuhan 9 orang yang selamat.
perutku benar benar lapar dan ingin makan, aku tau penumpang lainnya juga merasakan hal yang sama. Tapi jika aku egois mungkin yang lain juga akan egois, jadi aku bersabar saja menunggu jatah. Kebutuhan makanan yang ada tidak sebanding dengan rasa lapar kami. Hal ini menimbulkan sebuah masalah. Jangan jangan karena berebut makanan kami akan membunuh yang lain.
Karena merasa ini merupakan permasalahan penting, kapten kapal mengajarkan cara bertahan hidup dilautan. Kapten berkata siapa yang curang dia akan dibuang kelaut. Merinding sekali aku mendengar ucapan kapten itu. Tapi itu lebih baik dari pada membiarkan rasa egois kami memberanikan diri untuk melukai yang lain hanya karena makanan.
Selama sepuluh hari kami terapung, dan selama sepuluh hari juga aku merenungi kesalahanku. Bahkan aku sudah membuat rencana jika sudah sampai didaratan, itupun jika kami selamat. Jika selamat nanti, aku akan memeluk ibu dan ayahku, aku akan minta maaf dihadapan mereka dan berjanji tidak akan melukai perasaan mereka lagi.
Kejadian ini membuat aku menghargai arti sebuah kehidupan, aku tidak dapat membayangkan jika kejadian ini menimpa ayah dan ibuku. Selama ini aku tidak memikirkan bahaya yang menimpa mereka jika aku tidak disisi mereka.
Aku juga akan membawa mereka ke kota, dan membawa ibu kerumah sakit yang terbaik disana. Aku akan membuat hari tua mereka menjadi lebih bermakna. Aku akan membuktikan kepada orang orang bahwa ibu dan ayahku juga bisa bahagia dan bangga memiliki anak sepertiku.
Maafkan aku ibu, maafkan aku ayah.

0 komentar:

Post a Comment