Friday, 13 March 2015

DESTINY


Baiklah… biar cerita ini berjalan seperti semestinya. Tidak berubah, ataupun di ubah. Kalau kau sudah lupa, atau memang sengaja melupakannya, akan aku ingatkan. Dengarkan, karena aku tidak akan mengulanginya.

Ingat ketika tetes air jatuh dari langit kelabu. Kala itu, tidak ada kau disana. Hanya ada aku sendiri. Merenung. Di bawah guyuran hujan yang begitu deras. Tidak, aku memang tidak bawa payung atau jas hujan dan pelindung lainnya. Sengaja memang. Karena dulu, aku punya tujuan. Tujuan yang aneh, tapi memang itu yang aku mau. Yaitu, dirimu.

Tau kah kamu tentang takdir? Ternyata firasat itu tidak pernah salah. Dan takdir tidak pernah bisa membohongi. Karena itu memang nyata dan juga murni. Firasatku bilang, aku menginginkanmu. Ah, bukan. Maksudku aku menginginkan cinta. Ya, cinta yang ada dalam dirimu. Cinta yang menyertaimu dalam setiap langkahmu.

Jika kamu beranggapan aku gila, mungkin itu memang kenyataannya. Aku percaya takdir, dan aku percaya firasat. Itulah mengapa, kita bisa bertemu. Karena jika aku tidak mempercayai keduanya, mungkinkah kita bisa bersama seperti sekarang? Sudah aku bilang, takdir itu murni, dan firasat itu tidak pernah bohong. Jadi, mendekatlah padaku, karena kita memang takdir. Tidak, aku tidak ingin menyebut bahwa kita adalah jodoh. Itu karena kebanyakan orang bilang kalau mereka jodoh, tapi kenyataannya di tengah jalan mereka berpisah. Itulah alasannya, mengapa aku menyebut takdir, dan firasat.

Ah, mari kita lanjutkan. Sampai mana tadi? Ah ya, hujan. Kamu pernah dengar, bahwa hujan adalah pembawa berkah? Berkah apapun itu. Itu memang benar, karena hujan pembawa cinta. Karena hujan adalah perantara kita untuk bertemu. Ingat tidak, kita belum saling kenal waktu itu. Aku hanya bisa menunggu seseorang untuk menjemputku di tengah derasnya guyuran air hujan, dan kamulah yang terpilih. Kamu yang berhasil menemukanku, dan selanjutnya melindungiku dengan segenap jiwamu. Tapi, tunggu. Aku melupakan sesuatu. Biar aku koreksi sekali lagi. Selain pembawa berkah, hujan juga pembawa petaka.

Terimakasih. Kamu meghalangi air hujan itu dengan payung yang kamu bawa. Payung itu berwarna kuning dengan gambar bunga-bunga kecil di sekeliling bundarannya. Kamu berdiri tepat di hadapanku dalam diam, menatapku begitu lama dengan pandangan yang membingungkan. Kamu tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Sungguh, aku tidak pernah bohong, aku girang bukan main waktu itu. Dengan lantangnya firasatku berkata,

“Aku menemukannya. Aku menemukannya!”. Dan ternyata memang benar, aku memang menemukanmu.

Kamu datang sangat lama. Badanku benar-benar menggigil karena menunggumu. Hampir saja aku putus asa jika saja firasatku waktu itu tidak terus menjerit-jerit agar tetap bersabar. Dasarnya, kesabaran itu membuahkan hasil juga. Setelah kamu menatapku lama, barulah kamu memeluku erat. Aku dibuat terkaget-kaget olehmu. Aku tidak percaya saat pertama kali kita bertemu kamu sudah memelukku duluan. Niatnya aku mau meronta, tapi lagi-lagi firasatku berkata,

“Jangan pernah menolak. Karena takdir tidak akan pernah bisa di usir.” Aku urung, alih-alih menolak, aku malah balas memelukku. Iya, itu karena tidak ada alasan yang lain. Aku sangat kedinginan waktu itu. Benar-benar kedinginan. Dan menyakitkan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pucatnya diriku waktu itu. Mungkin, jika aku melihat wajahku sendiri aku akan ketakutan. Tapi kamu tidak. Kamu malah memegang payung itu untukku, sementara badanmu kebasahan karena hanya separuh saja yang tertutup oleh payung dan membiarkan tubuhku terhalang dari air hujan sepenuhnya. Aku tidak tega melihat seperti itu, tapi aku benar-benar lemas. Kamu tahu, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain melihatmu.

Jelas sekali bagiku kalau kamu lebih peduli padaku ketimbang pada badanmu sendiri. Kamu memapahku dengan penuh kesabaran, membiarkan kepalaku bersender pada bahumu. Kadang, takdir memang kejam dan sangat susah untuk di kendalikan. Ah, tunggu. Bukankah sebelum kamu memapahku, kamu bilang sesuatu di telingaku. Kamu berbisik pelan dan penuh kelembutan,

“Dimana rumahmu? Biarkan aku mengantarmu pulang.” Tapi aku hanya diam. Sama sekali tidak merespon pertanyaanmu. Aku sudah bilang, aku terlalu lemas, bahkan untuk bicara. Yang bisa aku lakukan hanyalah menatapmu. Memandangmu tanpa jeda. Karena kamu tahu, aku takut, setelah itu kita berpisah dan tidak bertemu lagi.

Ingin rasanya aku menonjok mukamu waktu itu. Setelah aku tidak menjawab apapun, kamu tanpa seizinku membopong badanku. Aku terkejut setengah mati! Aku benar-benar kaget karena sesuatu yang tak terduga itu. Tapi nyatanya, setelah itu, aku tidak jadi ingin menonjok wajah tampanmu. Aku sudah rileks, badanku sudah tidak terlalu kedinginan. Dan itu semua karena kamu. Karena sepanjang perjalanan, kamu mendekapku dengan sangat erat.

Waktu itu adalah pertama kalinya aku berkunjung ke rumahmu. Ya, kamu memang membawaku ke rumahmu. Sungguh, aku tidak menduganya sama sekali. Awalnya aku takut, tapi lagi-lagi firasat itu berkata lagi mempengaruhi otakku,

“Dia itu takdir. Dan sejauh apapun kamu menolak, takdir itu akan selalu mengejarmu hingga dapat.” Aku tidak jadi pergi, lagipula keadaanku tidak memungkinkan untuk pergi dari rumahmu yang asing bagiku. Sampai di rumahmu itu, kamu membaringkanku di atas kasur yang berukuran besar dengan bantal-bantal empuk yang tertata rapi. Duh, aku benar-benar tidak enak karena membuat kamarmu jadi basah gara-gara aku. Tapi lagi-lagi kamu lebih mempentingkan aku ketimbang kamarmu.

Kamu memanggil seseorang. Aku tidak tahu siapa itu. Kemudian, aku berbicara padanya sebentar, dan keluar dari kamar meninggalkanku dengan peremupuan yang baru saja di panggil olehmu. Perempuan itu kelihatannya lebih muda dari padaku. Dia tersenyum ramah, tapi terlihat samar di mataku. Kemudian perempuan itu berkata dengan lembut,

“Kakak menyuruhku untuk menggantikan bajumu agar tidak kedinginan. Tenanglah, lagi pula aku punya banyak baju ganti. Jadi kamu tidak perlu khawatir, dan aku tidak akan melakukan apapun. Trust me.” Katanya diselingi senyum yang merekah manis. Tidak seberapa lama, perempuan itu sudah mengambil baju, entah dari mana asalnya. Dia menutupi seluruh badanku dengan selimut tebal, lalu tangannya perlahan menyusup ke dalam selimut itu, dan mulai melucuti pakaianku. Tidak, aku tidak akan cerita banyak tentang ini padamu. Kamu kan laki-laki.

Selesai berganti, barulah kamu masuk ke dalam dan langsung duduk di tepi ranjang. Kedua tanganmu membawa baskom dengan air hangat di dalamnya. Kamu berniat untuk menurunkan demamku. Kamu tersenyum, dan untuk pertama kalinya aku melihat senyummu itu. Senyum yang manis, dan indah untuk di pandang.

“Tidurlah disini, aku akan merawatmu.” Kamu mengelus lembut keningku, menyilakan rambutku yang tersebar di kening. Dengan telaten kamu memeras lap kemudian menempelkan pada keningku, hingga seterusnya. Sampai mataku perlahan terpejam. Terpejam lama, sampai pagi. dan tidak tau lagi bagaimana denganmu.

Karena ketika aku bangun, kamu sudah tidak ada lagi di sisiku. Sudah tidak ada lagi air di dalam baskom, ataupun lap di atas kening. Hanya ada kamarmu, dan baju pemberian dari adikmu itu. Kamar yang aku tempati kosong tidak berpenghuni, sepi senyap, tanpa seorang disana. Hanya ada aku seorang diri, dan deruan nafasku yang yang memburu.

Kamu tahu, ketakutanku yang melintas pertama kali adalah, aku tidak akan bertemu denganmu lagi, dan aku belum sempat mengucapkan terimakasih untukmu. Kamu tahu, waktu aku mencarimu, firasatku seolah berhenti bekerja, dalam diriku tidak ada lagi suara-suara yang mempengaruhi cara berfikirku. Aku benar-benar takut. Mungkinkah bahwa firasat itu mati? Mungkinkah jika takdir itu malah menghindar dariku? Demi apapun yang ada di dunia ini, aku takut.

Aku mencarimu kemana-mana. Ke seluruh penjuru rumah. Tapi tidak ada siapapun disana, hanya ada aku seorang diri. Yang menangis karena putus asa. Benarkah kalau kita tidak bisa bertemu lagi? Tapi kamu bilang bahwa kamu akan merawatku, sementara aku belum sembuh dari demamku. Iya, aku memang menuntut. Tapi, bisakah kamu kembali untuk sebentar saja? Aku ingin mengucapkan terimakasih padamu. Karena kamu peduli, karena kamu tersenyum padaku, karena kamu merawatku, dan karena kamu menjadi dewa penolongku.

Tidak! Mana mungkin firasatku berbohong?! Pasti kamu tidak pergi begitu saja, iya kan? Kamu pasti kembali, suatu saat nanti padaku. Aku benar-benar kacau sekarang, wajahku basah karena air mata. Tapi, kapan kamu kembali lagi? Haruskah aku menunggumu lagi seperti semalam? Jujur, aku tidak suka menunggu. Aku tidak ingin.

“Jangan jadi keras kepala. Takdir tidak akan pernah bisa menjauh.” Firasatku muncul lagi. Mungkinkah kamu datang kembali? Mungkinkah itu?! Tapi dimana kamu?!

Tapi, sungguh. Aku bisa melihatmu sekarang. Aku segera berlari kecil ke arahmu, kamu duduk di tepi kasur, membelakangiku. Oh sungguh, kenapa aku tidak melihatnya tadi? Tapi, tunggu. Kenapa bahumu bergetar dan naik turun? Kamu pasti sedang bercanda. Ehm, mana mungkin kamu menangis. Bukankah seharusnya aku yang menangis karena terlalu lama menunggumu?

Aku mendekatimu. Kemudian mencoba untuk menyentuh bahumu. Aku tidak bisa?! Hey, sungguh! Bagaimana bisa bahumu tertembus begitu saja olehku? Ya ampun, ini benar-benar lelucon. Aku mencoba untuk meraih bahumu lagi. Tapi tidak bisa lagi. Hey?! Kenapa denganmu? Atau denganku? Kenapa semua ini sangat membingungkan? Aku semakin mendekatiku, berdiri di sampingmu. Dan sungguh, aku tidak bisa berkata apapun.

Apa yang aku lihat? Bagaimana bisa aku melihat diriku sendiri terbaring di atas kasur dengan wajah pucat pasi seperti itu? Tidak. Ini tidak mungkin. Mana bisa seperti itu?! Siapapun itu, tolong jelaskan padaku. Kenapa kamu malah terus menangis, aku ada disini, di sampingmu. Tapi, kenapa kamu terus terpusat pada diriku yang lain, yang terbarung di atas kasur itu?

HEY?! Aku benar benar-benar berteriak sekarang. Tapi, kenapa kamu sama sekali tidak menoleh padaku? Aku ada di sampingmu! Aku ada di sampingmu! Sungguh. Menolehlah. Tataplah aku. Aku ada disini, bukan di atas kasur itu.

AKU BILANG DENGARKAN AKU, OKEY?!

Apa yang terjadi sesungguhnya? Kenapa kamu terus menangis dan tidak mendengarkanku?! Kenapa…

Aku diam. Aku termenung. Aku hanya bisa melihatmu. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Tunggu, aku merenung, dan hanya bisa melihatmu. Bukankah itu sama saja dengan kejadian semalam?

Tahukah kamu sekarang, aku menangis. Aku benar-benar menangis tanpa bisa membendungnya. Aku ingat semuanya. Aku mengingatnya.

Aku melihatmu, di persimpangan jalan. Membawa payung kuning cerah di malam hari. Aku mengingatnya sekarang, dengan baik. Aku terlalu bersemangat, aku terlalu ingin mengenalmu. Aku terlalu obsesi padamu. Aku menyabrang jalan, aku tidak melihat kanan kiriku. Karena hanya kamu yang aku lihat. Ya Tuhan, aku semakin deras menangis. Dan begitupula denganmu sekarang.

Iya. Aku menyeberang jalan. Tanpa melihat bahwa ada mobil dengan kecepatan tinggi yang melintas. Membelah derasnya air hujan. Sementara payungku terbang entah kemana. Tubuhku basah. Badanku sangat sakit. Darahku bercucuran karena tertabrak mobil itu. Aku hanya bisa melihatmu. Aku tidak bisa melakukan apapun selain melihatmu yang terkejut.

Iya. Badanku sangat sakit. Darah yang aku keluarkan ikut terbawa air hujan, di sekitarku hanya ada warna merah. Kamu sangat lama. Aku sudah kesakitan sekarang. Tapi kamu benar-benar lama. Atau, memang waktu yang terasa sangat lama, padahal aslinya cepat? Aku tidak tahu, aku hanya tidak bisa berpikir dengan benar. Aku menunggumu!

Kamu berdiri di depanku, menghalangi air hujan yang mengenai tubuhku. Kemudian kamu memapahku berdiri, tapi aku tidak bisa. Kemudian kamu membopongku dan membawaku pergi dari tempat itu. Kamu panik, kamu lari, kamu mendekapku erat, hingga aku kehilangan kesadaran. Lalu, sadarlah aku bahwa kamu membawaku ke rumah ini, tapi saat itulah, aku memejamkan mataku. Memejamkan mataku hingga sampai saat ini. Hingga membuatmu menangis.

Bukankah itu artinya, aku sudah meninggal?

Bukankah seperti itu?

Aku melihatmu lagi, kamu mengguncang-guncang tubuhku dengan keras, tapi aku sama sekali tidak merasakan guncangan itu. Merasa di sentuhpun tidak. Kamu menarikku ke dalam dekapanmu, tapi lagi-lagi aku tidak merasakannya.

Sadarlah aku tentang takdir, dan firasat yang menuntunku. Iya. Takdir memang tidak bisa di tolak, dan firasat terlalu sulit untuk dikelabui. Karena takdir itu memiliki alasan yang pasti, alasan yang sebelumnya tidak aku ketahui. Alasan bahwa, saat itulah waktunya aku pergi dari bumi ini. Dan juga, alasan untuk bertemu dengan orang sepertimu.

Kamu masih terus menangis. Aku semakin melemah. Mungkin, sebentar lagi malaikat akan datang dan menarikku pergi. Tapi, sebelum aku pergi, Ingin sekali aku mengusap air matamu, lalu bilang dan berbisik tepat di daun telingamu, bahwa aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Hanya ada jasadku disana.

Dan, terimakasih. Karena sudah membawaku kemari.

Selamat tinggal.

0 komentar:

Post a Comment