Friday, 13 March 2015

CINTAKU TAK BERLISAN


Senja menyapa, Mentari elok segera sirna dari peraduannya. Sore seakan berganti malam yang berhias bintang. Bersama sinar rembulan yang menawan cinta yang menyatukan insan sesuai titah Tuhan.

Cinta entah apa itu, jika aku bertanya kapada orangtuaku, dengan santai ia menjawab. “belum waktunya sayang, kalau cinta sudah datang nanti kamu juga akan tahu,” itulah jawaban orangtuaku jika aku bertanya tentang cinta kepada mereka. Kata mereka yang terpenting sekarang adalah belajar untuk mengejar impian. Tapi semakin aku mengacuhkan cinta, hati ini semakin meronta ketika kupandang seseorang yang senyumnya menggoda hati. Seraya hati ini menjerit sangat keras bahwa cinta ini telah hadir dalam hatiku atas jawaban lelaki itu.

Hampir setiap hari aku memperhatikannya. Setiap hari kulihat dia lewat jendela kamarku yang sedang berkomat-kamit melantunkan kalam Ilahi untuk ia hapalkan Al-qur’an setebal itu. Sayang diriku tak bisa seperti dirinya, aku hanya bisa membayangkan untuk bisa merasakan bagaimana hidup di pesantren itu. Keinginanku ditolak orangtuaku, karena diriku yang serba tidak memungkinkan. Kondisiku yang lemah bahkan sering sakit-sakitan menjadi alasan mengapa aku tak di izinkan untuk bermukim di pesantren.

“Hayo.. lagi lihatin apa..?” ibu membuyarkan pikiranku. “Ah ibu, gak lihat apa-apa kok.” Jawabku bingung. “Yang benar..?” goda ibu. “Iya bu..” yakinku pada ibu. “Ayo, ditutup jendelanya, gak baik anak perempuan lihatin santri putra.” Perintah ibu lalu kututup jendela kamarku rapat-rapat.

“Ayah, Ibu, Nida berangkat sekolah dulu.” Izinku pada orangtuaku. “Lho, gak sarapan dulu?” tanya ibuku. “Gak lapar bu.” Jawabku acuh tak acuh. “Ntar sakit lho..” ayah mencoba membujukku. “Insyaallah gak Yah, Assalamu’alaikum.” Salamku sambil mencium tangan kedua orangtuaku. “Wa’alaikum salam” jawab orangtuaku.

Aku berjalan keluar menuju sekolah. Baru sampai di persimpangan jalan aku bertemu dengan dia. Dengan seseorang yang selalu aku puja. Oh sungguh hari yang membahagiakan. Beberapa menit kemudian sampailah aku di sekolah. “Hey Sobat, how are you?” sapa Alin kepadaku. “Gaya loch, ana bi khoir.” Jawabku. “Hey sobat.” Sapa Fajar dan Syarif ketika bertemu aku dan Alin. “Hey juga sobat.” Jawabku serentak dengan Alin.

Kita memang bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP, mereka adalah sahabat yang sempurna di mataku.
“Al, hari ini aku bahagia dech.” Kataku mengawali curhat hari ini. “Kenapa emang?” tanya Alin penasaran. “Dia tersenyum manis kepadaku.” Kataku sembari tertawa riang. “Dia siapa sih..?” tanyanya lagi. “Ada dech..” jawabku manja. “Pasti.. anak santri itu kan?” tebak Alin. “He’em, tadi aku ketemu dia.” “Terus gimana…”
Obrolanku terputus saat pak Najib datang ke kelas. Dan KBM pun dimulai.

Tak terasa waktu empat puluh menit telah berlalu, bel pun berbunyi keras, seakan semangat ini muncul kembali kembali untuk segera pulang dan melihat Yasin yang sedang duduk di teras. Tapi keinginan itu sirna, ketika sahabatku mengajakku membeli buku di toko Al-Barokah.

“Nin.. ayo dong ikut..!” rayu Alin. “Gak ah, aku mau pulang.” Tolakku. “Yakin? Ntar nyesel loh..!” tambah Fajar. Akhirnya aku ikut sahabatku pergi ke toko buku.

“Pada mau beli buku ya?” rasa-rasanya suara itu sudah tak asing lagi terdengar di telingaku. “Nin, sini!” panggil Syarif mengejutkan lamunanku. “Ada apa Rif?” tanyaku sedikit malu. “Kenalin, ini temanku dari Madrasah Salafiyah.” Kata Syarif memperkenalkan Yasin kepadaku dan juga Alin, yang sebenarnya diriku telah mengenalnya. “Oh, Madrasah yang dekat sama Madrasah kita itu ya?” celotehku. “Iya, kamu putrinya bapak Ahmad kan? Yang rumahnya dekat Pesantrenku.” Tanya Yasin padaku. “Iya, kok tau?” “Tahulah, kamu kan yang sering mengamati anak santri lewat jendela kamarmu?” kata Yasin membuatku malu. “Masak sih, ngarang aja kamu.” Kataku untuk menutupi malu.

Tak lama kemudian, selesai sudah acara pilih-pilih buku dan hanya Syarif yang akhirnya mengambil buku, itu pun hanya satu. Setelah itu, kita pulang. Bayangnya yang indah kini telah sirna, berharap kesempatan akan membawaku kembali padanya lagi.

Beberapa bulan berlalu, aku, Alin Nabila, Fajar Septiawan dan Wahifdhon Syarif telah resmi lulus dari Madrasah. Alin melanjutkan studinya di pesantren Jawa Timur, sedangkan Fajar dan Syarif melanjutkan studinya di salah satu Universitas di Jakarta. Berbeda denganku, semua keinginanku sirna, aku hanya melanjutkan studi di salah satu Universitas di tempatku. Padahal keinginanku seperti Alin.

Kini hari-hari ku jalani sendiri tanpa adanya senyum sahabat-sahabatku lagi. Semangatku tinggal Yasin seorang yang selalu ceria dengan senyumnya yang khas itu. “ya Allah.. mengapa Engkau memberi cinta yang seperti ini, cinta yang sulit untuk ku jalani, bahkan sulit juga diucapkan.” Batinku menangis, kala aku menyadari betapa cinta yang tumbuh dalam lubuk hatiku dan tak sadar siapa orang yang aku cintai, tanpa mengerti mengapa aku bisa mencintainya. Kuhabiskan hari-hariku dengan renungan. Setiap malam kujadikan sebagai penghibur rindu. Bulan dan bintang menjadi hiasan relung hati yang sepi. Mentari pagi memberiku semangat agar aku selalu bisa dalam menjalani skenario hidup ini.

“Nida sayang…” lirih ibuku dari belakang. “Ibu bikin kaget aja.” Jawabku sedari menutup jendela kamarku. “Ibu boleh tanya sesuatu?” kata Ibu mengawali percakapan. “Bolehlah.. emang Ibu mau tanya apa?” “Sudahkah dirimu menemukan cinta?” pertanyaan ini sempat membuatku bingung, harus aku jawab apa? Kekasih saja aku tak pernah punya. Aku pun sempat lama melamun. “Nin.. apa sudah ada? Ayo ceritakan pada ibu.” Ibu mengagetkanku. “Belum Bu..” jawabku membohongi ibuku. “Masak sih.. Ibu gak percaya.”
Tok tok tok..
Suara ketukan pintu memutuskan percakapanku dengan Ibu. Aku bergegas membuka pintu, dan ternyata tukang pos.
“Selamat sore, apa benar ini rumahnya saudari Azizun Nida?” sambil membaca alamat yang tertera di sampul surat. “Betul pak, apa ada kiriman surat?” Aku berharap sahabat-sahabatku disana mengirimkan sepucuk surat untukku. “Iya mbak, ini ada titipan surat dari saudari Ali Nabila.” Kemudian menyerahkan surat itu kepadaku. “Terima kasih pak.”
Aku sudah tak sabar ingin membacanya. Ternyata Alin tak lupa denganku, sudah empat tahun aku tak berjumpa dengannya. Rasanya aku sangat rindu kepadanya.

Untuk Sahabatku,
Azizun Nida
Assalamu’alaikum warahmatullah
Sobat, bersama angin yang berhembus ria, sepucuk surat telah datang untuk menggantikan diriku yang dulu selalu ada di sampingmu. Sobat, aku sangat rindu denganmu, juga dengan Fajar dan Syarif. Lewat selembar kertas ini, aku ingin berbagi kebahagian denganmu. Mungkin kamu tak pernah menyangka jika aku akan segera menjadi milik salah satu seorang santri dari pesantren Ma’rifatul Ulum, yakni Muhammad Yasin, aku sangat bahagia sobat mendapatkan seseorang yang ahli agama. Sobat sebentar lagi kita akan bertemu kembali, karena aku akan melangsungkan sunnah Rasul di pesantren itu.
Sekian dulu sobat..
Wassalamu’alaikum warahmatullah
Salam rindu Sobatmu,
Alin Nabila.

Seketika itu, surat kiriman dari Alin lepas dari genggamanku, tiba-tiba ragaku mulai melemah, air mataku mulai nampak di pipi, saat itu aku shock berat hingga aku tak sadar bahwa diriku telah terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan alat pernapasan.

“Sobat..” genggamannya terasa hangat di tanganku, aku pun pelan-pelan membuka mata. Dan ternyata sungguh sangat menyedihkan, Alin menjengukku bersama Yasin, rasanya aku ingin marah, tapi tak mungkin, salah jika diriku marah, seharusnya aku sadar bahwa aku tak pantas untuk Yasin.

Hari ini janur kuning telah tertancap di halaman pesantren Ma’rifatul Ulum. Sedangkan diriku masih lemah hingga harus duduk di atas kursi roda. Dengan penuh uraian air mata aku mengamati orang-orang yang tengah sibuk mempersiapkan pernikahan untuk mereka. “Kini Ibu sadar bahwa orang yang kamu cintai adalah Yasin Sayang..” sambil mengusap air mataku, ibu mencoba mengerti perasaanku. Aku hanya tetap diam dan menangis hingga ibu tak kuasa melihat diriku yang rapuh akan cinta ini. Dari arah kejauhan tampak mereka sangat bahagia, senyum terpancar dari wajah sahabatku Alin dan Yasin, kupertahankan air mataku agar tak terlihat oleh mereka, tetapi tetap saja menetes setiap aku menghapusnya.

“Selamat sobat, semoga engkau selalu bahagia.” Tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Makasih Sobat.. mengapa engkau menangis?” Alin mencoba memastikan keadaanku. “Mungkin anakku terlalu bahagia karena dirimu juga bahagia nak Alin.” Sambil mendorong kursiku ke arah Yasin ibu tersenyum pada Alin. “Yasin, selamat ya semoga bahagia.” “Terima kasih Nin..” dengan senyumnya yang khas ia membalas ucapanku.

Sungguh tak kuasa diriku, merasa tak ikhlas, tapi memang beginilah cintaku. Aku memang salah, tak memberanikan diri untuk mengungkapkan bahwa aku mencintai Yasin. Aku merasa tak pantas bila mengungkapkan jika aku mencintainya, karena aku seorang wanita. Aku selalu saja berharap dan menanti jika ia akan mencintaiku, lisanku hanya diam, lisanku tak berani berbicara, hanya hati yang bisa memberontak dan merasa tak ikhlas bahwa cinta ini tak untukku, tapi untuk sahabatku. Kini cintaku hanyalah impian, berharap cinta ini bagai bintang yang bersinar, pelangi yang menawan dan bulan yang tersenyum bahagia. Tapi sayang, cintaku yang sebenarnya bagaikan angin kencang yang merobohkan tiang, bagai hujan deras serta petir yang menyambar, hanya karena tak berlisan.

0 komentar:

Post a Comment