Walau Dulu Rasa Cinta Pernah Ada, Kini Aku Telah Merelakanmu Bersama yang Lainnya.

Untukmu, Dirimu yang selalu kunikmati dari kejauhan. Dulu sekali, rasa cinta memang sangat akrab dan sering bergelayut manja di rongga hatiku. Selalu berhasil membuatku meremang ketika sosokmu tak sengaja tertangkap oleh mata.

Ini saat-saat dimana kita harus mikirin diri sendiri

Ada sebuah kalimat yang bilang kalau ‘musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri’ jadi kalau kita pengen dihargai, maka hargailah dulu diri agan sendiri (jangan badan agan ye yang dipukul-pukul) .

CINTA YANG TERLAMBAT

Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus

Filosofi Matematika Dalam Kehidupan

Pernah nggak Anda berpikir… 1. Mengapa PLUS di kali PLUS hasilnya PLUS? 2. Mengapa MINUS di kali PLUS atau sebaliknya PLUS di kali MINUS hasilnya MINUS? 3. Mengapa MINUS di kali MINUS hasilnya PLUS? Hikmahnya adalah:

Mengapa Allah Menyebut Manusia Paling Sempurna

Hidup adalah perjuangan. Tanpa perjuangan, nihil; nonsens. Walau takdir pada hakikatnya berada di tangan Tuhan, tapi itu bukanlah alasan untuk berpangku tangan, bermanja-manja dan bermalas-malasan.

Friday, 13 March 2015

PELAMPIASAN CINTA


Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau dan aku akan menjadi kita. Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau kini menjadi orang yang akan selalu ada di sampingku. Bahkan awalnya, aku menyangka dialah laki-laki yang sedang aku peluk erat lenggannya, bukan kamu seperti saat ini. Namun, aku harap kau tak salah paham, walaupun awalnya aku tak menyangka, kini aku sadar aku sungguh mencintai dan menyayangimu sebagai kekasih, bukan seorang adik.

Langit malam di kotaku kali ini benar-benar begitu indah, dinginnya angin malam semakin membuat malam ini begitu menggoda. Aku menolehkan wajahku pada sosok laki-laki yang saat ini sedang berada tepat di sisiku, aku mengelus lembut wajahnya yang begitu dingin. Laki-laki itu memberikan senyuman terhangat padaku di tengah dinginnya malam, dan kecupan hangat yang mendarat di keningpun benar-benar membuatku semakin menyayangi laki-laki itu. Aku memeluk lengannya semakin erat, hingga tak ada yang mampu memisahkan kita, bahkan angin malam pun enggan mengganggu kehangatan kita. Malam itu Bandung benar-benar membuatku sempurna.


Hari berlibur telah usai. Bagiku beberapa minggu berada di California lumayan juga. Pohon-pohon palem, Samudera Pasifik yang amat begitu luas membentang hampir seluas langit, warna-warna pastel yang sedang in, semua itu mampu membuatku terpesona. Aku harap setiap liburan semester California akan selalu tetap mempesona. Memang benar, setiap enam bulan sekali aku, ayah, dan ibuku pasti akan pergi ke California Utara itu untuk sekedar melihat keadaan Nenek. Sulit sekali membujuk nenek untuk pindah ke Indonesia, alasan nenek sih simple yaitu kenangan. Oke, sebagai anak muda aku begitu paham jika menyangkut kenangan, mungkin kepergian kakek masih begitu meninggalkan luka, jelas saja kakekku meninggal karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Oh, ya walaupun aku cucu dari nenek dan kakek yang berada di California, liburan ini adalah kali pertama aku berada di kediaman mereka. Tapi bukan berarti aku tidak pernah bertemu nenek dan kakekku, biasanya merekalah yang mengunjungi kami, mereka bilang rindu Indonesia, tapi tak mau meninggalkan California. Mungkin kenanganlah yang sulit mereka tinggalkan.

Rasa lelah dan kantuk begitu melekat, aku masih sulit untuk keluar dari jeratan tempat tidur yang sudah aku tinggalkan selama aku di California. Sementara di luar kamar ibuku sudah ngomel-ngomel karena ternyata bukan cuma aku yang masih sulit keluar kamar, ayahku pun sama denganku, jelas saja sepagi ini ibu sudah uring-uringan seperti ini.
“ya sudah ayah, ibu Vivi pamit ya, bye” aku mengecup pipi kedua orangtuaku itu.
“hati-hati sayang” mereka melambaikan tangan dan melemparkan senyum yang selalu berhasil membuatku begitu bersemangat, apalagi ini adalah hari pertama dimana aku harus kembali menjalani aktifitasku sebagai murid SMA, setelah kami berlibur ke California.

Tidak terlalu pagi memang, namun suasana di dalam kelasku masih begitu sepi, mungkin mereka sama denganku, malas untuk kembali beraktifitas setelah hampir satu bulan kami berlibur. Namun, selain senyuman hangat kedua orangtuaku, ada penyemangat lain yang membuat aku harus selalu datang ke sekolah. Bahkan jika tidak sampai masuk rumah sakit, jika hanya flu atau demam biasa aku akan memaksakan untuk tetap datang ke sekolah, alasannya adalah karena mereka, sahabatku, kakakku, dan dia.

“hallo cantikkk” suara super melengking itu akhirnya kembali aku dengar, dia adalah Susan, sahabatku – satu-satunya. Aku memiliki banyak teman tapi tidak untuk sahabat.
“hai suara emasss” aku berteriak tepat di telinga kanannya. Dia sempat meringis, namun tak lama dia akhirnya duduk di sampingku.
“ah bisa aja deh lo, eh gue kangen banget Vi, gimana-gimana lo harus certain semua tentang California sama gue, HARUS!” Susan menekankan suara pada kata ‘harus’ ya jadi mau tidak mau aku harus menceritakan semua apa yang aku lihat pada sahabatku itu.
“tapi ada syaratnya San, lo harus certain apa yang lo tau dan gue enggak masalah kak Willy selama gue di California, oke?” Awalanya, Susan begitu terlihat ragu namun akhirnya dia tersenyum dan menyatakan bahwa syaratnya akan dia penuhi.
Dengan begitu serius Susan mendengarkan apa yang aku ceritakan, sebentar-sebentar dia terpukau tapi satu detik setelah itu dia bilang ‘ah itu biasa aja Vi’. Dia memang sahabatku yang super rempong, tapi dia begitu mampu membuatku tertawa.

“oke, itu A sampai Z mengenai California. Sekarang gimana kak Willy? dia sempet tanyain gue gak?” aku selalu antusias jika kami membahas tentang senior kami yang bernama Willy.
“hmm selama liburan ini dia sakit Vi, dia kena tifus. Tapi tenang dia hari ini masuk sekolah kok, dan waktu gue bareng kakak gue jenguk, dia sempet nanyain lo kok”
Aku sempat terkejut mendengar apa yang dikatakan Susan. Sakit? ah harusnya aku ada di sisi kak Willy. 10 bulan bagiku itu adalah waktu yang cukup melelahkan untuk menunggu seseorang. Namun, aku masih begitu setia dengan kelelahan ini, karena memang hal yang melelahkan itu sendiri lah yang membuat ku tetap bertahan, karena dia selalu memberi banyak harapan.

Semakin lama, banyak yang mulai mengetahui bahwa aku mencintai kak Willy, dan aku yakin kak Willy pun tahu jika aku mencintai dirinya. Namun, tak ada sikap perubahan apapun yang terlihat darinya. Ia tetap sama saja dengan sebelumnya. Aku tak pernah tahu apa maksud dari sikapnya padaku selama ini, ia begitu dekat denganku, namun, ia masih tetap saja menggantungkan kedekatan kita, ia tetap saja memberikan beribu harapan padaku, walaupun tak ada satu harapan pun yang ia buat menjadi kenyataan.

Setelah mendengar kabar dari Susan, aku bergegas menemui kak Willy di kelasnya. Sebenarnya agak ragu untuk menuju kelasnya itu, jelas saja kelas kak Willy berada di paling ujung, dan mau tidak mau aku harus melewati sepuluh ruangan kelas dua belas. Sementara semua mata para senior itu begitu menyeramkan, apalagi melihat aku berlari dan mereka merasa terganggu. Ada beberapa senior yang berteriak, ada yang melotot, namun kebanyakan dari mereka kebingungan. Dan ketika sampai di depan kelas kak Willy, aku melihat dia sedang dikerumuni teman-temannya, mungkin mereka juga ingin tahu bagaimana keadaan temannya itu. Aku tak mampu berbuat apa-apa, jika aku tiba-tiba mengetuk pintu dan ingin meminta izin untuk berbicara berdua dengan kak Willy mungkin belum sempat aku menanyakan keadaan kak willy aku sudah menjadi bahan pelototan teman-teman kak Willy. Hih aku merinding sendiri, namun ketika aku akan pergi meninggalkan kelasnya, seseorang melambaikan tangannya padaku. “kak Ridwan” aku berteriak dan membalas lambaian tangannya. Aku segera menghampirinya. Namun, aku rasa ketika aku berlari dan berteriak nama kak Ridwan, dan juga ketika aku kembali menoleh ke arah kelas kak Willy, ia sempat keluar dari dalam kelasnya dan melihat aku dan kak Ridwan berpelukan.


Akhirnya kami memutuskan untuk memilih restoran Jepang untuk makan siang kali ini. Selera kami selalu sama, kami memesan mie ramen yang tingkat kepedasannya sangat tinggi. Aku sudah merasa cocok dengan kak Ridwan, dia begitu baik, dia selalu menyempatkan waktu untukku, dia selalu membelaku, dia selalu membuatku menjadi spesial, dan kami saling menyayangi. Ah, pokoknya kami berdua sangatlah cocok untuk menjadi saudara kandung, tapi sayangnya kita bukanlah saudara kandung, bagiku dia adalah ‘kakak ketemu gede’. Sejak kecil aku selalu bemimpi ingin memiliki saudara laki-laki apalagi seorang kakak, namun itu tidak mungkin karena menurut dokter ibuku tidak bisa mengandung dan melahirkan lagi, karena ada kelaianan dalam rahimnya. Namun, benar tak ada yang tidak mungkin, toh kakak laki-laki kini bukan hanya khayalan saja, kak Ridwan kini ia bukanlah senior biasa bagiku, namun dia adalah kakakku.

“gimana Vi, California?”
“lumayan kak, kakak gimana Surabaya?” aku selalu senang jika kami memiliki waktu berdua seperti ini. jelas saja, walaupun kak Ridwan selalu berusaha menyempatkan waktunya, tapi di sisi lain aku selalu tidak enak, apalagi ingat jika kak Ridwan memiliki kekasih.
“lumayan” dia menjawab dengan datar. “Cuma lumayan doang?” aku benar-benar bingung dengan jawaban kak Ridwan.
“memangnya kenapa? bukannya kamu juga tadi jawab lumayan yah?”
“hah? ohh iya ya” aku menggaruk-garuk kepalaku, lagi-lagi aku selalu terlihat garing di depannya. Namun, tak lama kak Ridwan tertawa dan mengacak-ngacak rambutku. Sampai akhirnya mie ramen super pedas pesanan kami telah datang.
“oh ya kak, kakak tau kan kak Willy sakit dan sampai masuk ruangan perawatan? aduh aku jadi kasihan, dan rasanya aku mau meminta maaf karena aku gak ada waktu dia sakit, gimana menurut kakak?” aku yakin kak Ridwan sudah bosan mendengarkan aku yang selalu mencoba membahas tentang kak Willy, sampai-sampai ia hanya menjawab dengan bahasa tubuh, mengangguk, menggelengan, atau hanya merespon dengan ‘hm’ ‘oh’ ‘ya’.
Namun, setelah mie ramen miliknya telah habis ia santap, kak Ridwan mulai membuka mulut.
“kamu masih tetep suka sama Willy Vi? apa kamu gak cape nunggu hampir satu tahun, di gantung kayak gini? dan kamu gak lupa kan yang ngerasa dia gantung itu banyak”
“kak, kak Willy ngasih aku harapan ko, dia gak gantung aku seenaknya. Setidaknya aku di gantung pake gantungan yang bagus, bukan yang udah karatan. haha” aku mencoba menjawabnya dengan lelucon, tapi aku rasa itu benar-benar tidak lucu, maka dari itu aku tak suka jika masalah perasaan di kait-kaitkan dengan lelucon. Karena bagaimana pun tak selaras.
“mau pake gantungan baru atau udah karatan sama aja Vi, sama aja di gantung, dan nunggu sampe kering itu lama”
“tapi kalau udah kering pasti di lepas dari gantungan kan kak?”
“tuh kan kamu udah lupa lagi, kalau kamu di lepas dari gantungan semua juga akan ikut dilepas, gimana tuh? kepastiannya? dan kamu harus inget dia menyebarkan benih-benih harapan ke semua gantungannya”
“aduh udah lah, tambah gak ngerti. Mening pulang yuk kak” aku menarik lengan kak Ridwan.

Kami menaiki sepeda motor, dan selama dalam perjalan kak Ridwan mengantarkanku pulang, aku terus memikirkan pembicaraan kami tadi. Jujur aku sama sekali tidak mengerti, namun aku mampu menangkap bahwa initinya kak Ridwan menyuruhku berhati-hati, dia khawatir jika aku sampai menjadi korban harapan palsu kak Willy.


“Vi, kakak denger kamu udah nunggu kakak hampir setahun, bener? ngapain sih kamu mau kakak gantungin kayak gini? apa begitu spesial kakak di mata kamu? mending kamu pacaran aja sama si Ridwan. Haha” aku begitu terkejut mendengar apa yang telah kak Willy katakan, apalagi ia mengatakannya dengan tertawa terbahak-bahak. Ini bukanlah lelucon! Aku benci jika masalah hati di anggapnya hanya sebatas lelucon. Seketika suhu tubuhku memanas, tenggorokanku terasa perih, mataku memerah dan berair, aku lantas berdiri dan menatap sang pujaanku itu dalam-dalam. ‘kau fikir bagaimana? aku menunggumu hampir satu tahun! Setiap hari aku terus memikirkanmu! Sebentar-sebentar tertawa, lalu menangis. Aku selalu tegar jika terkadang kau tak menganggapku! Karena aku yakin kau akan memilihku. Tapi sekarang, kau menganggap ini hanyalah lelucon? brengsek!’. Rasanya ingin sekali mengatakan itu semua, namun apa daya hati ini tak tega jika membiarkan mulutku mengeluarkan kata-kata yang begitu kasar seperti itu. mulutku membeku, air mataku mulai menetes, dan akhirnya aku berlari meninggalkan laki-laki yang selalu aku puja itu.

“kamu kenapa Vi?” Susan begitu terlihat kebingung, karena melihatku menangis seperti ini.
“kak Willy Vi. Hiks hiks” rasanya aku tak sanggup untuk menceritakan apa yang telah terjadi pada sahabatku itu. Namun Susan terus saja memaksaku untuk menceritakannya. Hingga akhirnya aku kalah, dan menceritakan apa yang telah kak Willy perbuat padaku.

“apa? bener-bener brengsek itu orang! Mentang-mentang dia terkenal, dia seenaknya mainin cewek kayak kamu!” kini Susan melepaskan pelukannya.
“Vi, kamu juga sih yang salah! Udah tau dia kayak gitu tetep aja lo tuh nunggu dia!”
Benar, benar sekali apa yang dikatakan Susan. Sepertinya aku tak pernah merasa jera untuk mencintai, menunggu, bahkan tersakiti oleh kak Willy. Dan jika harus jujur, dengan kejadian yang baru saja terjadi, itu semua sama sekali tak menjadi alasan untuk aku berhenti mencintanya. Hanya saja, aku membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkan perasaanku ini.


Pagi kini kembali menyapa. Namun, berbeda dengan pagi-pagi yang sebelumnya, hari ini aku begitu tak bersemangat untuk memulai hari. Seperti biasa ibu sudah ngomel-ngomel karena aku dan ayah belum juga keluar kamar. Aku melirik sebuah buku bersampul kuning yang berada tepat di sebelah pipiku. Sebuah buku diary. ‘hallo mimos, thanks ya semalem kamu udah mau jadi tempat curhatanku lagi, kamu gak bosen kan kalau aku terus tulis tentang kak Willy?’ mungkin terlihat seperti orang yang tidak waras, namun aku selalu berusaha menjadikan diary itu hidup. Mimos, biasa aku memanggilnya. Di dalam buku itu, semua membahas tentang kegalauan untuk mencintai dan menunggu sosok kak Willy. Dan ada satu fotonya yang aku tempel, yang benar-benar terlihat begitu gagah. Namun selain kak Willy, aku pun menempelkan foto kak Ridwan dalam buku diaryku itu. Aku merasa, selain foto kak Willy, akupun harus menempelkan foto kak Ridwan.

“kakak udah denger semuanya dari Susan. Terus mau kamu sekarang gimana?” aku begitu terkejut dengan kehadiran kak Ridwan yang secara tiba-tiba menemuiku di dalam kelas.
“hah? maksud kakak?”
“kamu gak perlu lagi nunggu dia”
“loh, apa sih yang kakak omongin? aku memang begitu sakit hati atas apa yang dikatakan kak Willy. Tapi sekarang udah enggak ko, kakak ga perlu khawatir, karena bahkan sekarang aku tambah yakin sama kak Willy. Kakak tau gak? tadi pagi pas aku buka pintu, ada bunga mawar tepat di depan pintu. Awalnya aku heran, tapi gak lama kak Willy lewat rumahku, dan akhirnya kita berangkat bareng deh. Hehe”
“terus kamu yakin kalau bunga itu dari dia?”
“iya dong” jawabku singkat.

Sama dengan kak Ridwan, Susan terlihat kurang begitu yakin, jika kak Willy lah yang sudah memberikanku sebuah bunga. Namun, walaupun kak Ridwan dan Susan tak menyukai kak Willy, aku tetap yakin jika suatu saat aku dan kak Willy akan bersama.


Tak terasa liburan akhirnya akan tiba lagi. California akan menjadi tujuan keluargaku berlibur, sama dengan liburan sebelumnya. Dan hari ini adalah hari terakhir dimana aku harus berangkat sekolah, sebelum besok aku harus pergi mengunjungi nenek dan kakekku.
“iya San, besok gue berangkat. Liburan kali ini kayaknya gue bakal kangen berat nih sama kak Willy, hehe”
“ah lo Vi, bukannya setiap liburan yang paling lo kangenin tuh si Willy ya”
“ya, iya sih. Tapi lo tau kan satu bulan ini gue lagi deket-deketnya sama dia. Gara-gara mawar itu loh San, lo masih ingetkan?”

Ya, liburan kali ini aku pasti akan begitu rindu pada sosok pujaanku itu – walaupun benar apa yang dikatakan Susan, setiap liburan yang membuat aku ingin cepat masuk sekolah ya kak Willy. Namun, kali ini berbeda, sepertinya hari terakhir sekolah ini kak Willy akan meresmikan hubungan kami. Entahlah aku begitu merasa yakin akan hari ini, apalagi tadi pagi aku melihat kak Willy membawa setangkai bungan mawar sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kelasnya.
Di dalam kelas aku terus merasa deg-degan, sepertinya Susan juga ikut deg-degan, namun dia bilang dia bukan deg-degan karena kak Willy akan menyatakan perasaanya padaku, namun sebaliknya, Susan takut jika aku hanya ke geer-an saja.
“eh ayo ayo keluar, coba liat di lapangan basket ada tontonan bagus” suara teman-teman kelasku silih berganti mengatakan hal yang sama. Aku dan Susan begitu penasaran dengan apa yang telah membuat hampir seluruh isi sekolah pergi ke lapangan basket.
“sudah lama aku terus mencari sosok wanita yang cocok untukku. Terserah kalian, kalian mau mengatakan aku playboy, cowok pemberi harapan palsu, terserah! Karena jujur, itu semua aku lakukan karena aku ingin mencari sosok wanita yang pas untukku. Dan akhirnya aku menemukan wanita cantik yang sudah mencuri perhatianku, dan itu adalah, Margaretta Putri. Retaa kamu mau kan jadi pacar aku? kalau kamu mau kamu terimalah bunga mawar merah ini”
Semua bersorak, mengatakan ‘terima’. Mungkin hanya akulah yang sangat tak kuasa mengatakan ‘terima kak Willy, Retta’ – maksudku aku dan banyak wanita yang merasa kegeer-an oleh kak Willy.


“kamu dingin Vi?” aku mengangguk dan memeluk lengannya semakin erat.
“mau pulang?” aku menggelengkan kepalaku.
“kakak sayang sama kamu Vi” dia mengecup keningku.
Rasanya, tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan semua ini. Aku merasa aku sudah sangat begitu bodoh, karena aku sudah bersikap seperti itu dulu. Aku selalu ingin sosok lelaki yang aku puja dulu itu peka akan apa yang selalu aku perbuat untuknya. Namun, aku sendirilah yang malah tak peka. Bodoh memang.
“Vi, sebenarnya selain kakak suka sama kamu. Ada satu hal lagi yang dulu belum sempat kakak jujur sama kamu” kini aku mengerutkan dahiku.
“memangnya apa kak?”
“kamu masih ingat kan, dengan bunga mawar yang dulu ada di depan pintu rumah kamu dulu?”
“hah? iya aku masih ingat kak, dari cowo brengsek itu kan?”
Laki-laki itu melepaskan lenganya yang sedari tadi telah membuatku tubuhku begitu hangat.
“bukan Vi, itu bukan dari Willy. Tapi itu aku yang kasih. Maaf Vi aku kurang begitu berani buat ngasih kamu bunga langsung. Aku pengecut Vi”
Aku begitu terkejut dengan apa yang telah aku dengar. Rasanya aku ingin berteriak, dan aku begitu sangat marah. Hampir kurang lebih lima menit aku diam dan menekuk wajahku, sementara kak Ridwan kini berhenti menangisi penyesalannya.
“kamu kenapa Vi? kamu marah” suara laki-laki itu begitu terdengar lirih di telingaku.
“iya kak, aku marah. Aku marah pada diriku sendiri kak. Maafkan aku kak, maaf” kini tangisku lah yang pecah. Aku memeluk erat kekasih baruku itu.
“Vi, kakak sayang dan cinta sama kamu. Mungkin dulu kakak begitu kurang pemberani, sehingga kakak hanya menganggapmu adik. Tapi ketahuilah, status kakak dan adik itu hanyalah bentuk pelampiasan ketakutan aku untuk mencintaimu.”

PERJUANGAN CINTA


Gadis itu berjalan pelan-pelan tidak tergesa-gesa, saat menuju ke sekolah, saat itu masih pukul 06.45. ia adalah gadis yang cantik, baik, disiplin, tepat waktu. Gadis itu bernama Siska. Ia tidak pernah terlambat untuk datang ke sekolah dan juga selalu mengerjakan tugas sekolah dengan rajin dan tepat waktu.

Setelah tiba di sekolah, siska bertemu dengan sahabatnya syiva ,ada sekelompok geng yang tidak menyukai siska dan syifa yaitu angel, bianka dan adisti mereka adalah orang yang sangat tenar di sekolah, dan mereka bergaya hidup serba mewah, Angel adalah ketua dari geng itu dan sangat disukai banyak anak-anak cowok di sekolah, tetapi sayang sifatnya egois dan sok berkuasa.

Suatu hari Angel marah dengan siska karena niko adalah cowok yang ditaksir angel, dari awal mereka bertemu, karena niko itu cowok yang keren, baik hati, ganteng, kece banget. Dan tiba-tiba di hati niko muncul perasaan bahwa niko menyukai siska, setelah lama dekat, Angel merasa tersingkir dan marah pada siska, angel dan kedua temannya bianka dan adisti menghadang siska dan syifa, saat bel pulang sekolah. Disitu angel sangat marah terhadap siska dan beranggapan kalo siska adalah cewek yang genit dan hanya sekedar memanfaatkan niko saja, tapi itu berbanding terbalik dengan kenyataan.
“Lo itu Cuma memanfaatkan niko aja kan? Jelas angel marah.”
“Aku gak tau maksud kamu apa?” jawab siska polos.
“udah deh, gak usah ngeles, gue udah tau semuanya”
“denger ya, aku gak pernah manfaatin niko sama sekali!”
“tetep aja lo ngeles” jawab siska egois.
“terserah kamu mau ngomong aku gimana, yang penting aku gak seperti apa yang kamu omongin!”.
“dasar! niko itu punya gue dan gak pantes buat lo!”.
Tiba-tiba niko datang dan melerai pertikaian mereka berdua. “kalian itu apa-apaan sih?!, ada masalah apaan kok, kalian jadi berantem gini, gak malu dilihatin orang?!” sambil melerai mereka berdua
“dia tuh yang cari masalah duluan sama aku” jawab angel ngeles.
“siapa yang cari masalah sama kamu sih, kamu yang tiba-tiba dateng menghadang aku, terus marah-marah sendiri” jelas siska panjang lebar
“iya bener tuh angel gak ada angin gak ada badai langsung marah-marah ke siska tanpa sebab, aneh!” jelas syifa balik
“udah syif biarin aja” jawab siska sambil menitikan air mata yang jatuh.
“sis kamu jangan diem gitu aja dong, emang siapa dia marah-marahin kamu gitu aja, niko si angel gak suka dan marah ke siska gara-gara kamu deketin siska”.
“gak usah bohong deh kamu, niko dia itu mau ngerebut kamu dari aku, dan dia cuma manfaatin kamu aja!”.
“angel dengar ya, aku gak pernah ada perasaan sama kamu dan siska juga gak pernah manfaatin aku sama sekali, jadi tolong jangan fitnah siska yang enggak-enggak!”.
“terserah deh!”.
“jadi aku mohon kalian baikan, jangan ada permusuhan lagi”
“oke fine, ini aku lakuin demi kamu!” sambil nunjuk ke arah adnan.

Akhirnya mereka akhirnya mau baikan, walau angel ngelakuin itu dengan terpaksa, tapi demi orang yang dia sayang, dia mau ngelakuin itu semua. Hari demi hari siska dapat bersekolah seperti biasa tanpa ada permasalahan lagi termasuk dengan angel, sekarang niko dan siska semakin akrab dan dekat.

CINTA PERTAMA

Fattan adalah seorang pemuda dari keluarga sederhana, berparas tampan dan lemah lembut. Dia berhasil memasuki sekolah tingkat atas yang tergolong elite dengan beasiswa. Kini Dia duduk di kelas 2 SMA jurusan IPA bersama teman dekatnya yaitu Oka seorang pemuda dari keluarga ekonomi menengah atas. Kelas 2 melukiskan warna dalam hidupnya karena di masa inilah cerita cinta pertama menghampiri lembaran hari-hari yang Dia lewati.

Awalnya Fattan tak menduga merasakan hal yang teman-teman seumurannya rasakan apalagi kalau bukan cinta, perasaan yang pertama kali Dia rasakan dalam hidupnya. Pertemuan dengan Dinda, anak terpopuler serta primadona di sekolah telah membuat hidupnya berwarna.

Perkenalannya dengan Dinda bermula saat pelajaran olah raga lari jarak jauh yang berjarak ± 10 KM melewati rute yang sudah ditentukan guru olah raga. Saat itu, Dia berlari jauh dari ketiga temannya seperti Oka, Efri dan Dino.
Tak disangka di tengah-tengah perjalanan Dia dikejutkan dengan suara teman satu kelasnya Dinda yang berteriak meminta tolong. Dia menghampiri Dinda yang terjatuh karena terserempet mobil Kijang Innova berkecepatan tinggi. Melihat itu, Dia mencoba mencari pertolongan.
“tolong… tolong!” teriak Fattan panik.

Orang-orang di sekitar tempat kejadian menghampiri Mereka dan mencarikan kendaraan untuk mengantar mereka ke sekolah. Fattan dan Dinda menaiki mobil pick up milik warga untuk kembali ke sekolah mereka.

Sesampainya di sekolah, Pak Beno guru olah raga beserta teman lainnya membawa Dinda ke UKS karena luka yang diderita tak begitu parah hanya lecet-lecet saja. Setelah luka Dinda selesai diobati, Fattan meminta izin untuk meninggalkannya di UKS. Dia merasa canggung berada di sekitar cewek-cewek populer.
“Din.. gue keluar dulu ya? Mau ganti pakaian, gue harap Lu bisa cepet sembuh” ucap Fattan gugup sebelum meninggalkan Dinda.
“iya nggak apa-apa kok. thanks ya, tadi dah nolongin gue.” Balas Dinda seraya tersenyum menatap Fattan.
Mendengar itu, teman-teman Dinda meledeknya dengan berbagai kata salah satunya yang selalu Dia ingat.
“ciye… ciye… perhatian banget sich? Jangan-jangan ada cinta dalam hati. Siapa tahu kalian berdua bisa pacaran kan cinta datang dari mana saja dan kapan saja” ledek Septi teman dekat Dinda yang merupakan bagian dari genk populer.
“Lu, bisa aja Sep. Kan gue Cuma nolongin Dinda aja, masa iya sampe segitunya.” Kata Fattan tersipu malu mendengarnya.
“iya nih, Septi lebay banget.” Balas Dinda.
“gue nggak lebay kok, emang bener dari tatap mata kalian ada yang aneh. Seperti ada rahasia rasa yang tersimpan.” Ucap Septi meyakinkan Fattan dan Dinda.
“udah… udah, nggak usah ngaco lagi Sep, kasihan tuh Fattan yang nggak jadi keluar-keluar.” Sahut Ikhda yang sedang asik memainkan handphonenya.

Semenjak kejadian itu, Dinda sering mengajak Fattan bermain ke rumahnya dan selalu berkomunikasi baik melalui handphone atau jejaring sosial lainnya. Kedekatan inilah yang membawa Fattan merasakan perasaan yang selayaknya anak muda rasakan apalagi kalau bukan cinta. Dia mulai merasakan hal yang berbeda dalam diri dan hatinya bahkan tiap detik bayangan Dinda hadir menghantuinya.
“kenapa ya? Kalau dideket Dinda, gue selalu ngrasa ada yang mengganjal, apa ini yang dibilang cinta” gerutunya dalam hati sambil berbaring di tempat tidur.
“oh inikah cinta, rasanya cinta terasa bahagia saat jumpa dengan dirinya.” Spontan Fattan menyanyikan sedikit lirik lagu.

Suatu pagi Fattan menemui Oka, Dia berniat curhat tentang perasaan yang semakin hari makin menyiksa diri. Ditemuinya Oka di ruang perpustakaan, disana Fattan memulai ceritanya dari awal sampai akhir.
Tanpa diduga ternyata Oka memberi semangat serta meyakinkan Fattan agar Dia berani mengungkapkan itu semua pada Dinda. Akhirnya Fattan memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Dinda di lapangan basket setelah pulang ekstrakurikuler.

Fattan mengirimkan pesan singkat melalui HP ke Dinda yang berisi Dia ingin bertemu dengannya nanti sore di lapangan basket sepulang ekstrakurikuler. Tak terasa waktu yang dinanti pun tiba, pikiran Fattan menjadi kacau balau jantungnya berdegub tak beraturan menanti kedatangan Dinda. Dia dikejutkan suara lembut dari belakangnya yaitu suara Dinda.
“bengong aja. Maaf, lama tadi ada urusan bentar. Btw Lu mau ngomong apa sich? Kelihatannya serius banget?” sapa Dinda berdiri di dekatnya.
“ya gak apa-apa telat bentar ini. Gue emang mau ngomong serius bahkan lebih dari serius” ucap Fattan sedikit bergurau.
“ya udah ngomong aja gue dengerin kok” balas dinda jadi penasaran.
Spontan Fattan memegang tangan Dinda, Dia mulai mengatur nafas untuk memulai pembicaraannya.
“Din… gue mungkin salah memiliki rasa ini dan gue bukanlah sosok sempurna seperti yang Lu inginkan tapi rasa ini bila dipendam semakin menyiksa diri. Hari ini disini gue mau jujur tentang perasaan ini. Lu, mau nggak jadi penguasa hati gue sekaligus pacar pertama?” ungkap Fattan penuh kesungguhan dan harap cintanya bisa terbalas.
“Tan… cinta itu terlahir untuk siapa saja tanpa kecuali. Cinta mengalir tanpa kita duga. Jujur selama ini gue juga memendam rasa yang sama buat Lu. gue juga ingin Lu jadi pacar pertamaku” ungkap dinda berseri-seri.

Sejak saat itu, Fattan dan Dinda resmi berpacaran namun hubungan mereka berjalan rahasia (back Street) tanpa ada satu pun orangtua mereka tahu.

Hari terus berganti, kisah demi kisah terangkai mengisi perjalanan cinta mereka. Hubungan cinta mereka telah berjalan 8 bulan sampai akhirnya mereka naik kelas 3 SMA.

Kelas 3 SMA, masa yang perlu kekonsentrasian menuju Ujian Nasional dan di masa inilah cinta Fattan mendapat badai dari orang ke tiga serta ke dua orangtua Dinda. Pertemuan Dinda dengan siswa baru yang bernama Bagus yang ternyata teman SMP-nya membuat kisah cintanya dengan Fattan di ambang pintu kehancuran.

Bagus siswa baru yang ternyata menyimpan perasaan pada Dinda mencoba menghancurkan hubungan cintanya dengan Fattan. Bagus merasa dirinya lebih pantas menjadi pacar Dinda dibandingkan Fattan.
Sepulang sekolah ketika Fattan dan Dinda sedang asyik mengobrol tiba-tiba Bagus menghampiri mereka.
“kelihatannya lagi asyik nih. Kenalin nama gue bagus anak kelas 3 IPS 2, gue temen SMP Dinda. Kebetulan rumah gue ama Dinda berdekatan. Kalau gue boleh tahu Lu siapanya Dinda?” seraya mengulurkan tangan.
“gue Fattan pacarnya Dinda” menyambut uluran tangan Bagus.
“oh… Lu cowoknya Dinda.” Jawab Bagus ketus. Rasanya tak percaya Dinda bisa jatuh hati pada cowok yang tak sederajat dengannya.
Mendengar itu, hati Bagus seperti tercabik-cabik, sirna sudah harapan bisa bersama Dinda sosok yang sejak dulu Dia impikan. Merasa tak bisa menerima kenyataan Bagus meninggalkan Dinda dan Fattan.

Di rumah, Bagus memutar otaknya mencari jalan untuk memisahkan Dinda dengan Fattan. Tanpa disangka terbersit ucapan Om Hendra ayah Dinda yang mengatakan anaknya belum memiliki pacar, Bagus berpikir kalau hubungan Dinda dan Fattan berjalan backstreet dan berencana membongkar itu semua.

Sore itu, Bagus menemui Ayah Dinda di rumahnya. Kebetulan sore itu Dinda belum pulang sekolah. Kesempatan ini tak disia-siakan Bagus untuk membongkar hubungan Dinda dan Fattan dengan harapan cintanya bisa terbalas.
“selamat sore om, maaf ganggu waktu om” sapa Bagus dengan sopan.
“santai saja Gus, kebetulan om juga nggak sibuk. Oh ya, ada apa? Mau mencari Dinda ya?” jawab Om Hendra seraya meledek Bagus
“om ini bisa saja, saya tidak mencari Dinda Om, tapi saya mau bercerita sesuatu yang pasti om kaget mendengarnya”
“sesuatu? Apa maksudmu Gus?” bertanya-tanya.
“begini om, om pasti belum tahu kalau anak om yang bernama Dinda sudah memikili pacar”
“pacar? Ah.. kamu pasti bercanda Gus. Kalau kamu memang benar, sejak kapan Dinda berpacaran dan siapa pacarnya?”
“sampai detik ini sudah 10 bulan lah om, pacarnya bernama Fattan, dia tergolong siswa dari golongan bawah di sekolah kami” cerita Bagus dengan penuh antusias.
“apa? Dinda pacaran? Berani sekali Dia membohongi ayahnya sendiri.” Kata Om Hendra kesal mendengarnya.
Om Hendra merasa tak percaya kalau anak kesayangannya tega membohonginya. Melihat ekspresi Om Hendra, Bagus merasa puas Dia pamit pulang karena takut Dinda mengetahui aksinya.

Malam itu ketika semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah, Om Hendra memulai pembicaraannya. Dia mengutarakan rasa kecewanya pada Dinda dan meminta Dinda untuk menyudahi hubungannya dengan Fattan jika tidak Dia akan dipindah sekolah.

Keesokan harinya, Dinda mengajak Fattan ke taman sekolah disana Dia menceritakan semua perkataan ayahnya. Teriris hati rasanya mendengar itu semua. Sambil mengusap air matanya, Fattan mencoba menegarkan hatinya.
“sudah, mungkin apa yang dibilang ayahmu memang benar. Kita masih muda cinta kita mereka pandang cinta monyet dan status sosial kita jauh berbeda, mungkin ayahmu ingin yang terbaik untukmu. Aku bisa terima itu” kata Fattan menegarkan hati yang mulai teriris perih.
“lalu kamu memilih untuk menyudahi ini semua? Semudah itukah Tan? Apa kamu tak berfikir untuk memperjuangkan cinta kita?” balas Dinda kecewa dengan perkataan Fattan yang seolah-olah tak memperdulikannya.
“takkan mudah melupakan apa yang sudah kita lalui. Tapi mungkinkah ayahmu mau menerima keadaanku?” ucap Fattan pasrah, ekspresinya berubah dingin.
“apa salahnya kamu mencoba bicara baik-baik dengan ayahku meski akhirnya tak seperti yang kita inginkan” kata Dinda mendesak Fattan yang terlihat pasrah menerima semua ini.
“oke kalo itu mau kamu, aku akan coba lakuin itu.” balas Fattan menenangkan hati Dinda.

Sepulang sekolah, Fattan memberanikan diri mengunjungi rumah Dinda, Dia bermaksud menemui Ayah Dinda untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi. Sesampainya disana Fattan tidak mendapat perlakuan yang menyenangkan dari Om Hendra.
Pembicaraannya dengan Om Hendra tak membuahkan hasil yang baik, Om Hendra tetap teguh pada pendiriaannya dan meminta Fattan tidak melanjutkan hubungannya, alasannya memang bukan materi tapi usia mereka yang belum sepantasnya berpacaran. Entah apa maksud yang disembunyikan Om Hendra mungkin ini cara yang halus untuk meminta Fattan putus dengan anaknya.

Singkat cerita, keesokan harinya Fattan menemui Dinda di taman kota, mereka sudah berjanji akan bertemu disana. Perasaan Fattan menjadi biru waktu itu, Dia tak menyangka cinta pertamanya akan kandas seperti ini.
Di bangku taman, Fattan dan Dinda saling berhadapan dengan perasaan sedih dan tak menentu bercampur menjadi satu. Setelah menarik nafas panjang Fattan memulai pembicaraannya.
“Din… apa yang dikatakan ayahmu benar, kita masih muda mungkin belum saatnya kita menjalin cinta yang sebenarnya apalagi kita sudah beranjak kelas 3, kita harus mementingkan sekolah. Mungkin hubungan kita memang harus diakhiri tapi yakinlah jika kita memang berjodoh tentu kita akan dipertemukan kembali di lain hari nanti” ucap Fattan merendah seraya menatap tajam Dinda yang tak kuasa menahan air matanya.
“Tan… memang masa depan kita masih panjang tak mungkin kita hancurkan masa depan itu dengan masalah yang mungkin bisa menggangu kita di sekolah. Meski sebenarnya aku belum bisa menerima kenyataan ini, tapi aku juga nggak mau jadi anak durhaka, aku terima keputusanmu tuk mengakhiri hubungan ini. Mungkin suatu hari nanti kita bisa bersatu kembali” jawab Dinda terisak-isak menahan pilu.

Setelah peristiwa itu, hubungan Fattan dan Dinda hanya sebatas teman biasa. Mereka tak menyimpan rasa sedih yang berkepanjangan dan menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Usaha Bagus untuk mengambil hati Dinda pun sia-sia karena Dia telah menutup pintu hatinya.
Suatu pagi, saat Bagus dan Dinda berangkat bersama ke sekolah. Bagus mencoba-coba mencari jalan untuk mengambil hati Dinda.
“Din… Lu nggak ada niat cari cowok baru lagi? Lagian mau sampe kapan Lu menjomblo? Gue juga mau jadi pengganti Fattan di hati Lu kok” rayu Bagus dengan lemah lembut.
“nggak ah, Gus. Gue mau konsen ke ujian aja, gue juga belum ada niat cari cowok baru, makasih buat tawaran Lu, tapi gue belum tertarik” pergi meninggalkan Bagus.
“ah.. sial. kenapa sih Lu nggak pernah bisa lupain Fattan? Apa coba yang menarik dari Dia” gerutu Bagus sendiri dengan rasa kecewa mendengar jawaban Dinda yang menolaknya.

Sejak saat itu pula Dinda maupun Fattan tak terlihat memiliki pasangan, mereka menjomblo hingga lulus SMA. Dalam hati mereka masih menyimpan rasa yang dulu pernah ada serta harapan bisa bersama lagi di lain hari.

CINTAKU TAK BERLISAN


Senja menyapa, Mentari elok segera sirna dari peraduannya. Sore seakan berganti malam yang berhias bintang. Bersama sinar rembulan yang menawan cinta yang menyatukan insan sesuai titah Tuhan.

Cinta entah apa itu, jika aku bertanya kapada orangtuaku, dengan santai ia menjawab. “belum waktunya sayang, kalau cinta sudah datang nanti kamu juga akan tahu,” itulah jawaban orangtuaku jika aku bertanya tentang cinta kepada mereka. Kata mereka yang terpenting sekarang adalah belajar untuk mengejar impian. Tapi semakin aku mengacuhkan cinta, hati ini semakin meronta ketika kupandang seseorang yang senyumnya menggoda hati. Seraya hati ini menjerit sangat keras bahwa cinta ini telah hadir dalam hatiku atas jawaban lelaki itu.

Hampir setiap hari aku memperhatikannya. Setiap hari kulihat dia lewat jendela kamarku yang sedang berkomat-kamit melantunkan kalam Ilahi untuk ia hapalkan Al-qur’an setebal itu. Sayang diriku tak bisa seperti dirinya, aku hanya bisa membayangkan untuk bisa merasakan bagaimana hidup di pesantren itu. Keinginanku ditolak orangtuaku, karena diriku yang serba tidak memungkinkan. Kondisiku yang lemah bahkan sering sakit-sakitan menjadi alasan mengapa aku tak di izinkan untuk bermukim di pesantren.

“Hayo.. lagi lihatin apa..?” ibu membuyarkan pikiranku. “Ah ibu, gak lihat apa-apa kok.” Jawabku bingung. “Yang benar..?” goda ibu. “Iya bu..” yakinku pada ibu. “Ayo, ditutup jendelanya, gak baik anak perempuan lihatin santri putra.” Perintah ibu lalu kututup jendela kamarku rapat-rapat.

“Ayah, Ibu, Nida berangkat sekolah dulu.” Izinku pada orangtuaku. “Lho, gak sarapan dulu?” tanya ibuku. “Gak lapar bu.” Jawabku acuh tak acuh. “Ntar sakit lho..” ayah mencoba membujukku. “Insyaallah gak Yah, Assalamu’alaikum.” Salamku sambil mencium tangan kedua orangtuaku. “Wa’alaikum salam” jawab orangtuaku.

Aku berjalan keluar menuju sekolah. Baru sampai di persimpangan jalan aku bertemu dengan dia. Dengan seseorang yang selalu aku puja. Oh sungguh hari yang membahagiakan. Beberapa menit kemudian sampailah aku di sekolah. “Hey Sobat, how are you?” sapa Alin kepadaku. “Gaya loch, ana bi khoir.” Jawabku. “Hey sobat.” Sapa Fajar dan Syarif ketika bertemu aku dan Alin. “Hey juga sobat.” Jawabku serentak dengan Alin.

Kita memang bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP, mereka adalah sahabat yang sempurna di mataku.
“Al, hari ini aku bahagia dech.” Kataku mengawali curhat hari ini. “Kenapa emang?” tanya Alin penasaran. “Dia tersenyum manis kepadaku.” Kataku sembari tertawa riang. “Dia siapa sih..?” tanyanya lagi. “Ada dech..” jawabku manja. “Pasti.. anak santri itu kan?” tebak Alin. “He’em, tadi aku ketemu dia.” “Terus gimana…”
Obrolanku terputus saat pak Najib datang ke kelas. Dan KBM pun dimulai.

Tak terasa waktu empat puluh menit telah berlalu, bel pun berbunyi keras, seakan semangat ini muncul kembali kembali untuk segera pulang dan melihat Yasin yang sedang duduk di teras. Tapi keinginan itu sirna, ketika sahabatku mengajakku membeli buku di toko Al-Barokah.

“Nin.. ayo dong ikut..!” rayu Alin. “Gak ah, aku mau pulang.” Tolakku. “Yakin? Ntar nyesel loh..!” tambah Fajar. Akhirnya aku ikut sahabatku pergi ke toko buku.

“Pada mau beli buku ya?” rasa-rasanya suara itu sudah tak asing lagi terdengar di telingaku. “Nin, sini!” panggil Syarif mengejutkan lamunanku. “Ada apa Rif?” tanyaku sedikit malu. “Kenalin, ini temanku dari Madrasah Salafiyah.” Kata Syarif memperkenalkan Yasin kepadaku dan juga Alin, yang sebenarnya diriku telah mengenalnya. “Oh, Madrasah yang dekat sama Madrasah kita itu ya?” celotehku. “Iya, kamu putrinya bapak Ahmad kan? Yang rumahnya dekat Pesantrenku.” Tanya Yasin padaku. “Iya, kok tau?” “Tahulah, kamu kan yang sering mengamati anak santri lewat jendela kamarmu?” kata Yasin membuatku malu. “Masak sih, ngarang aja kamu.” Kataku untuk menutupi malu.

Tak lama kemudian, selesai sudah acara pilih-pilih buku dan hanya Syarif yang akhirnya mengambil buku, itu pun hanya satu. Setelah itu, kita pulang. Bayangnya yang indah kini telah sirna, berharap kesempatan akan membawaku kembali padanya lagi.

Beberapa bulan berlalu, aku, Alin Nabila, Fajar Septiawan dan Wahifdhon Syarif telah resmi lulus dari Madrasah. Alin melanjutkan studinya di pesantren Jawa Timur, sedangkan Fajar dan Syarif melanjutkan studinya di salah satu Universitas di Jakarta. Berbeda denganku, semua keinginanku sirna, aku hanya melanjutkan studi di salah satu Universitas di tempatku. Padahal keinginanku seperti Alin.

Kini hari-hari ku jalani sendiri tanpa adanya senyum sahabat-sahabatku lagi. Semangatku tinggal Yasin seorang yang selalu ceria dengan senyumnya yang khas itu. “ya Allah.. mengapa Engkau memberi cinta yang seperti ini, cinta yang sulit untuk ku jalani, bahkan sulit juga diucapkan.” Batinku menangis, kala aku menyadari betapa cinta yang tumbuh dalam lubuk hatiku dan tak sadar siapa orang yang aku cintai, tanpa mengerti mengapa aku bisa mencintainya. Kuhabiskan hari-hariku dengan renungan. Setiap malam kujadikan sebagai penghibur rindu. Bulan dan bintang menjadi hiasan relung hati yang sepi. Mentari pagi memberiku semangat agar aku selalu bisa dalam menjalani skenario hidup ini.

“Nida sayang…” lirih ibuku dari belakang. “Ibu bikin kaget aja.” Jawabku sedari menutup jendela kamarku. “Ibu boleh tanya sesuatu?” kata Ibu mengawali percakapan. “Bolehlah.. emang Ibu mau tanya apa?” “Sudahkah dirimu menemukan cinta?” pertanyaan ini sempat membuatku bingung, harus aku jawab apa? Kekasih saja aku tak pernah punya. Aku pun sempat lama melamun. “Nin.. apa sudah ada? Ayo ceritakan pada ibu.” Ibu mengagetkanku. “Belum Bu..” jawabku membohongi ibuku. “Masak sih.. Ibu gak percaya.”
Tok tok tok..
Suara ketukan pintu memutuskan percakapanku dengan Ibu. Aku bergegas membuka pintu, dan ternyata tukang pos.
“Selamat sore, apa benar ini rumahnya saudari Azizun Nida?” sambil membaca alamat yang tertera di sampul surat. “Betul pak, apa ada kiriman surat?” Aku berharap sahabat-sahabatku disana mengirimkan sepucuk surat untukku. “Iya mbak, ini ada titipan surat dari saudari Ali Nabila.” Kemudian menyerahkan surat itu kepadaku. “Terima kasih pak.”
Aku sudah tak sabar ingin membacanya. Ternyata Alin tak lupa denganku, sudah empat tahun aku tak berjumpa dengannya. Rasanya aku sangat rindu kepadanya.

Untuk Sahabatku,
Azizun Nida
Assalamu’alaikum warahmatullah
Sobat, bersama angin yang berhembus ria, sepucuk surat telah datang untuk menggantikan diriku yang dulu selalu ada di sampingmu. Sobat, aku sangat rindu denganmu, juga dengan Fajar dan Syarif. Lewat selembar kertas ini, aku ingin berbagi kebahagian denganmu. Mungkin kamu tak pernah menyangka jika aku akan segera menjadi milik salah satu seorang santri dari pesantren Ma’rifatul Ulum, yakni Muhammad Yasin, aku sangat bahagia sobat mendapatkan seseorang yang ahli agama. Sobat sebentar lagi kita akan bertemu kembali, karena aku akan melangsungkan sunnah Rasul di pesantren itu.
Sekian dulu sobat..
Wassalamu’alaikum warahmatullah
Salam rindu Sobatmu,
Alin Nabila.

Seketika itu, surat kiriman dari Alin lepas dari genggamanku, tiba-tiba ragaku mulai melemah, air mataku mulai nampak di pipi, saat itu aku shock berat hingga aku tak sadar bahwa diriku telah terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan alat pernapasan.

“Sobat..” genggamannya terasa hangat di tanganku, aku pun pelan-pelan membuka mata. Dan ternyata sungguh sangat menyedihkan, Alin menjengukku bersama Yasin, rasanya aku ingin marah, tapi tak mungkin, salah jika diriku marah, seharusnya aku sadar bahwa aku tak pantas untuk Yasin.

Hari ini janur kuning telah tertancap di halaman pesantren Ma’rifatul Ulum. Sedangkan diriku masih lemah hingga harus duduk di atas kursi roda. Dengan penuh uraian air mata aku mengamati orang-orang yang tengah sibuk mempersiapkan pernikahan untuk mereka. “Kini Ibu sadar bahwa orang yang kamu cintai adalah Yasin Sayang..” sambil mengusap air mataku, ibu mencoba mengerti perasaanku. Aku hanya tetap diam dan menangis hingga ibu tak kuasa melihat diriku yang rapuh akan cinta ini. Dari arah kejauhan tampak mereka sangat bahagia, senyum terpancar dari wajah sahabatku Alin dan Yasin, kupertahankan air mataku agar tak terlihat oleh mereka, tetapi tetap saja menetes setiap aku menghapusnya.

“Selamat sobat, semoga engkau selalu bahagia.” Tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Makasih Sobat.. mengapa engkau menangis?” Alin mencoba memastikan keadaanku. “Mungkin anakku terlalu bahagia karena dirimu juga bahagia nak Alin.” Sambil mendorong kursiku ke arah Yasin ibu tersenyum pada Alin. “Yasin, selamat ya semoga bahagia.” “Terima kasih Nin..” dengan senyumnya yang khas ia membalas ucapanku.

Sungguh tak kuasa diriku, merasa tak ikhlas, tapi memang beginilah cintaku. Aku memang salah, tak memberanikan diri untuk mengungkapkan bahwa aku mencintai Yasin. Aku merasa tak pantas bila mengungkapkan jika aku mencintainya, karena aku seorang wanita. Aku selalu saja berharap dan menanti jika ia akan mencintaiku, lisanku hanya diam, lisanku tak berani berbicara, hanya hati yang bisa memberontak dan merasa tak ikhlas bahwa cinta ini tak untukku, tapi untuk sahabatku. Kini cintaku hanyalah impian, berharap cinta ini bagai bintang yang bersinar, pelangi yang menawan dan bulan yang tersenyum bahagia. Tapi sayang, cintaku yang sebenarnya bagaikan angin kencang yang merobohkan tiang, bagai hujan deras serta petir yang menyambar, hanya karena tak berlisan.

GADIS PUTIH ABU ABU

Di taman rumput yang hijau ini kubaringkan tubuhku seraya memandang cerahnya langit biru. Yang seakan menghipnotisku dan membuatku tak kuasa menahan kantuk. Sejuk berada di tempat ini, hingga tak kusangka ternyata aku sudah tertidur lelap hampir setengah jam disini. Sepintas mataku terbuka dan melihat sosok gadis berseragam putih abu-abu di bangku yang berada di sudut taman. Entah angin apa yang menerpaku, kantukku hilang seketika melihat gadis cantik itu.

Kulihat dari jauh dia membawa kotak yang entah apa isinya. Ingin rasanya aku mendekat dan menyapanya, tapi 10 menit lagi aku harus sudah sampai di rumah. Jika tidak mama akan marah lagi denganku. “Besok sajalah mungkin dia akan kesini lagi,” pikirku.

Sesuai janjiku kemarin, siang ini aku akan pergi ke taman untuk menemui gadis putih abu-abu itu. Aku duduk di bangku yang ada di sudut taman. Kupasang headset di telingaku dan mulai kunyalakan musik. Ya inilah yang biasa ku lakukan kalau sedang menunggu. Sudah satu jam aku duduk disini, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan gadis itu. Kurasa aku mulai bosan, kuputuskan untuk pulang saja. Saat aku keluar dari taman kulihat gadis cantik itu lagi, ternyata dia benar-benar cantik. Rambut dikucir satu ke belakang dan masih memakai seragam, sepatu, dan tas sekolah.

Ia berjalan menuju taman, aku mengikutinya dari jauh. Kuberanikan diri untuk mendekatinya setelah ia duduk di bangku yang tadi kutempati.
“Hai,” sapaku.
Dia tidak menjawab tetapi hanya memberikan senyuman manisnya itu di hadapanku. Jantungku serasa melorot sampai dengkul melihat senyumnya. Dia bukan hanya cantik, tapi sangat manis. Bahkan gula di rumahku saja tidak ada apa-apanya dibanding senyum itu.
“Bolehkah aku duduk disini?” tanyaku.
“Tentu saja, siapa yang melarang?”
Kami diam tak ada yang melempar perkataan ataupun pertanyaan. Aku pun bingung harus memulai pembicaraan darimana.
“Aduh kenapa sih aku ini, kenapa aku jadi garing gini ya?” gerutu ku dalam hati.

Gadis putih abu-abu itu pun juga tak ada suaranya. Dia terlalu asik dengan handphone yang sedang dipegangnya itu. Aku bergerutu sendiri di dalam hati. Apa yang akan aku tanyakan padanya. “(Oke, daripada diem gini terus mending aku duluan yang tanya, aduh tapi tanya apa ya?)” pikirku.
“Nunggu siapa mbak?” “(Aduh kok malah mbak sih, ah gue kepo! Abis gue mau tanya apa selain itu)”
“Enggak nunggu siapa-siapa mas, mas sendiri nunggu siapa?”
“(Eh gue dipanggil mas, serasa kaya tukang cendol aja gue)” “Enggak juga, Cuma pengen kesini aja lagian aku juga sering kesini kok”
“Oh, aku juga sering kesini. Tapi nggak pernah liat mas nya tuh.” jawabnya.
“Oh mungkin…” belum selesai aku bicara dia sudah menyambung duluan.
“Eh maaf mas, aku ada urusan nih. Duluan ya!” Katanya sambil tersenyum padaku seraya berlari.
Aku pun juga tersenyum padanya. Senang rasanya bisa satu langkah lebih dekat dengan gadis itu. Habis ini pasti aku nggak akan bisa tidur, gara-gara liat senyumannya. Senyum termanis dan terseksi di jagad raya ini. Aku tersenyum-senyum sendiri sampai-sampai ada bocah yang mikir dan bilang ke mamanya kalau aku ini orang gila. Refleks ya aku lari aja daripada gila beneran. Eh, kurasa ada sesuatu yang kurang di pikiranku tentang gadis itu. Tapi apa ya? Ya ampun! Nama, aku lupa menanyakan siapa namanya. Uh, besok aku akan kembali lagi ke taman ini. Dan untuk yang kedua kalinya berharap gadis itu akan kembali kesini.

Sore ini aku tidak akan menunggu gadis itu, karena ternyata dia sudah ada disini.
“Eh, mas nya yang kemaren ya?” sapanya.
“Iya, manggilnya jangan mas dong. Emang tampangku kayak mas mas kenek angkot gitu ya?”
Dia tertawa, “Enggak enggak, ya maaf deh.”
Kami berdua bercanda dengan guyonan yang mungkin tidak bermutu ketimbang rapat para DPR. Karena keasikan ngobrol, hari sudah hampir sore. Aku menyuruhnya pulang sebelum malam tiba. Dia pun mengangguk dan pulang dengan berjalan kaki karena rumahnya tidak jauh dari taman ini katanya. Aku mengantarnya sampai di depan taman karena arah rumahku dan rumahnya berbeda. Sebelum dia berjalan jauh dariku, tiba-tiba dia berlari ke arahku. Aku pun menoleh dan bingung melihat tingkahnya.
“Loh kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanyaku bingung.
“Namaku Fandra. Kamu siapa?” Katanya sambil mengulurkan tangan kepadaku.
Aku tercengang sendiri karena mungkin saraf sensorik dan motorik ku agak lemot untuk menerima sesuatu kegiatan ketika sudah melihat senyumnya itu. Semua terasa kaku, entahlah apa yang aku rasakan jika dekat dengannya.
“Oh baiklah, kalau anda tidak mau memberi tau nama anda. Saya tidak akan menanyakannya lagi.” katanya.
“O o namaku Dimas.” balasku dan dengan cepat membalas uluran tangannya.
“Oh oke Dimas” katanya
Aku merasa jadi orang tergoblok di dunia ini, dari kemarin yang berniat buat nanyain namanya kan aku, tapi malah lupa berkelanjutan. Sekarang malah dia yang nanya nama ke aku, “Tapi gak papa deh itu artinya dia penasaran sama gue. Haha” pikirku.
“Yaudah sana kamu pulang, keburu malem.”
“Oke, aku pulang dulu ya.” jawabnya.
“Iya deh, hati-hati ya.” Dia tersenyum dan berjalan menuju rumahnya.

Sampai di rumah aku menelponnya, kami seperti dua orang yang sudah akrab sekali. Padahal hanya beberapa kali pertemuan saja. Hingga akhirnya lama kelamaan kita semakin dekat lagi bahkan sudah seperti sahabat karib. Aku berniat untuk menyatakan cintaku kepadanya. Aku ingin menyatakannya, tepat pada hari ulang tahunku yang jatuh tanggal 16 Juli atau lebih tepatnya besok lah.

Keesokan harinya, dia mengajakku bertemu di taman setelah pulang kampus. Aku pun mengiyakannya, kesempatan bagus pikirku. Aku menunggu Fandra di bangku taman yang biasa kita duduki. Setelah sekian lama aku menunggu, aku melihatnya di seberang jalan dan melambaikan tangannya padaku sambil mengeluarkan senyum mautnya yang selama ini telah menodai isi otakku ini.

Dia menyebrang menuju taman untuk menuju ke tempatku, tapi tiba-tibaaa “DUAAARRR!!”. Entah apa yang aku lihat tadi, sungguh tak kan pernah bisa kujelaskan walaupun kejadian itu terlihat sangat jelas di mataku. Aku berlari ke arah kerumunan banyak orang dan melihat Fandra tergeletak lemah di tengah jalan yang berlumurkan darah. Refleks, jantungku serasa copot, badanku lemas, lain dari apa yang kurasakan jika setiap kali aku melihat senyumnya. Tanpa terasa air mataku pun menetes, kugendong dia dan kuantarkan dia ke rumah sakit di sekitar itu.

Aku tahu dengan keadaannya yang sudah seperti itu sungguh tak ada lagi harapan untuk dia hidup kembali. Aku menelpon keluarganya, untung tadi ada orang baik yang membawakan tas Fandra kepadaku. Saat kubuka tasnya, ada sebuah kado bertuliskan “Happy Birthday Dimas” yang telah dia persiapkan untuk diberikan untukku. Dan ternyata isinya adalah buku diary Fandra lengkap dengan foto-foto kita berdua.

Mungkin ini kado terindah yang Tuhan berikan untukku. Tuhan mengijinkan aku untuk bertemu dengan malaikat secantik Fandra untuk mengisi warna di hari-hariku. Dan akhirnya Tuhan menjemput Fandra lebih awal karena ingin memberiku pelajaran bahwa cinta nggak harus ada di depan mata kita, cukup kita rasakan di hati cinta itu sudah sangat berarti.

AKU IKHLAS KAU BERSAMANYA

Air hujan terus berjatuhan, sudah seharian ini hujan turun terus…
Hah, rasanya malas untuk melakukan aktivitas. Akhirnya, yang ku lakukan hanya berdiam diri di kamar. Suara hujan memang sedikit membuatku takut, tapi masih berani untuk menatap setiap air yang jatuh dari langit tersebut walau hanya di balik kaca jendela. Air yang berembun di kaca jendela semakin menandakan bahwa hujan hari ini benar-benar deras. Aku merasa merinding setiap ada udara yang masuk melalui cela-cela kamarku. Dingiiin sekaliii…
Ohhh Tuhan kenapa aku teringat akan kenangan itu..




3 bulan lalu
“assalamualaikum, ini siapa ya?”
“aku Nurlin. Kamu nawir kan..?”
“iya.. benar kamu Nurlin? Nurlin apa kabar?”
“baik alhamdulilah. Kamu apa kabar?”
“baik juga”
Oh iya. Aku hampir lupa. Nawir adalah cowok misterius yang selalu datang dan pergi di kehidupan aku. Aku jadian sama dia pada tanggal 1 desember 2010, kami pacaran 1 tahun setelah itu dia sudah gak ada kabar. Gak tau menghilang kemana. Setelah 2 tahun aku dipertemukan lagi dengannya. Melalui handphone lagi.
Setelah pembicaraan di handphone tadi aku sama dia memulai hubungan yang baru. Kali ini dia lebih romantis. Lebih sering ngasih kabar, lebih perhatian, dan baik banget.

Setiap harinya aku makin tambah sayang sama dia. Setiap hari dia selalu ngasih kabar. Pagi-pagi sebelum dia berangkat ke sekolah dia pasti nelpon atau sms aku. Setelah pulang sekolah, dia juga pasti nelpon atau sms aku. Malamnya juga, dia pasti nelpon atau sms aku. Terus, subuhnya dia pasti nelpon atau sms aku untuk membangunkanku sholat subuh. dia itu sudah seperti alarm bagiku. dia selalu mengingatkanku sholat, makan, dan lain-lain. dia juga motivator buatku. Aku selalu semangat melakukan segala aktivitas-aktivitasku..

Setelah 10 hari kita baikan lagi, aku janjian ketemuan sama dia. Waktu itu malam rabu, aku gak ingat tanggal berapa. Malam itu malam yang paling menyenangkan seumur hidupku. Aku ketemu pangeranku setelah bertahun-tahun kita pacaran gak pernah ketemu. Kita pergi ke suatu tempat yang menurut aku itu cukup romantis. Disitu kami sekedar cerita-cerita tentang kenapa dia menghilang dan gak ngasih kabar. Tentang keluarganya, tentang pacarnya setelah dia gak ada kabar..

Setelah kami bicara panjang lebar, tiba-tiba kami terdiam. Kaget banget, dia mencium keningku.. Aku pun membalasnya dengan ciuman yang romantis. Seumur hidup aku gak pernah nyium cowok. Dialah cowok pertama yang aku cium.. Bisa dibayangin gak sih betapa malunya aku saat itu. Tapi gak papalah, yang penting happy..

Keesokkan harinya, kita janjian lagi. Kali ini dia ngajak aku ke suatu tempat yang romantiiis banget. Pantaiiii.. yah, pantai. Kita duduk di pinggiran pantai, sambil menikmati angin sepoi-sepoi..

Malam itu adalah malam yang sangat berkesan buat aku. Karena malam itu dia cium bibir aku. Gilaaa, belum ada cowok yang cium bibirku selain dia. dialah orang pertama. Dan dia itu my first kiss.. ohh, Tuhan gak nyangka..
Minggu pertama balikan semuanya maniiis banget,
Minggu kedua masih manis donk..
Masuk minggu ketiga, masih manis.
Masuk minggu keempat, manis.
Bulan pertama semuanya manis. Masuk bulan kedua manisnya hilang berubah jadi asem…
Kambuh lagi penyakitnya. Dari yang tadinya sering nelpon, sms, ngasih kabar, sekarang udah nggak. Nggak sama sekali. Seminggu sekali baru dia ngasih kabar. Bayangin aja, betapa galaunya aku nungguin kabar dari dia. Di telfonin katanya sibuk, lagi inilah itulah. Banyak alasan tau gak..?

Ramadhan tiba, aku pikir akan menjadi seperti ramadhan tahun 2011 lalu, waktu awal-awal kita pacaran, waktu aku masih romantis-romantisnya sama dia. Ternyata dugaanku salah. Salah banget malah. dia gak sekalipun ngabarin aku, bahkan untuk sms saja dia tidak pernah. Nanti pas penghujung bulan ramadhan aku coba menghubunginya..
Dia menjelaskan kenapa dia akhir-akhir ini gak ngasih kabar. Katanya sih dia kerja, jual pakaian di pasar malam..
Kasihan banget pacarku..

Setelah malam itu hubungan kami membaik lagi, malah lebih romantis dari sebelum-sebelumnya. dia kembali lagi seperti pas pertama kita balikan..
Tiba-tiba aku dengar kabar kalau dia mau nikah, aku dengar kabarnya dari sepupunya, teman aku waktu SMA. Aku gak percaya, tapi setelah aku Tanya dia, ternyata kabar itu betul. Yah, kagetlah aku. Kecewa, kecewa banget.
Dia menjelaskan kenapa dia akan menikah dan harus menikah. Dia sudah menghamili cewek itu, dan sekarang cewek itu sudah melahirkan seorang bayi laki-laki. Yahhh, aku ikhlas lah.. aku juga wanita, seandainya aku yang ada di posisi cewek itu, aku juga pasti akan mendesaknya untuk menikahiku.

Tapi, nawir bilang ke aku kalau dia Cuma nikah doang, gak baikan. Setelah nikah langsung pisah. Ya aku terima-terima aja. Aku terima statusnya, aku terima anaknya. Aku biarkan dia menikah dengan cewek itu karena aku pikir setelah menikah dia pasti akan kembali lagi. Tapi kenyataan yang ku terima di luar nalarku.

Pada tanggal 14 september 2013 mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Ya aku fine-fine aja. karena aku pikir dia pasti balik lagi sama aku disini.
Besoknya aku menghubunginya, dia gak ngangkat telfon aku, disms gak dibales.
Senin pagi tanggal 17 september 2013 aku terima sms darinya
“fajar” bunyi sms nya
“maksudnya? Fajar artiya apa?”
“fajar itu nama anakku”
“ohh, trus? Kamu masih sama istrimu sekarang atau?”
“masih. Aku gak bisa ninggalin dia. Orangtuanya desak aku untuk tetap bersama-sama dengan dia.”
Kecewa. Kecewa banget. Aku sudah berharap banget dia bakal kembali lagi sama aku. Aku sudah berusaha buat nerima dia apa adanya, nerima statusnya, anaknya, tapi…
Langsung aku kirim dia sms.
“ok. Berarti mulai sekarang anggap kita gak pernah ada hubungan apa-apa. Anggap kita gak pernah kenal. Semoga bahagia dengan kehidupanmu yang baru.. Bye”
Setelah ngirim sms itu, aku langsung matah-matahin kartuku, tanpa menunggu balasan darinya..
Galauuu tingkat internasional aku waktu itu. Sekarang aku berusaha move on, tapi belum bisa. Yaaah, aku pasrahkan semuanya kepada Tuhan lah.. rencanaNya pasti lebih baik..

SELESAI

DESTINY


Baiklah… biar cerita ini berjalan seperti semestinya. Tidak berubah, ataupun di ubah. Kalau kau sudah lupa, atau memang sengaja melupakannya, akan aku ingatkan. Dengarkan, karena aku tidak akan mengulanginya.

Ingat ketika tetes air jatuh dari langit kelabu. Kala itu, tidak ada kau disana. Hanya ada aku sendiri. Merenung. Di bawah guyuran hujan yang begitu deras. Tidak, aku memang tidak bawa payung atau jas hujan dan pelindung lainnya. Sengaja memang. Karena dulu, aku punya tujuan. Tujuan yang aneh, tapi memang itu yang aku mau. Yaitu, dirimu.

Tau kah kamu tentang takdir? Ternyata firasat itu tidak pernah salah. Dan takdir tidak pernah bisa membohongi. Karena itu memang nyata dan juga murni. Firasatku bilang, aku menginginkanmu. Ah, bukan. Maksudku aku menginginkan cinta. Ya, cinta yang ada dalam dirimu. Cinta yang menyertaimu dalam setiap langkahmu.

Jika kamu beranggapan aku gila, mungkin itu memang kenyataannya. Aku percaya takdir, dan aku percaya firasat. Itulah mengapa, kita bisa bertemu. Karena jika aku tidak mempercayai keduanya, mungkinkah kita bisa bersama seperti sekarang? Sudah aku bilang, takdir itu murni, dan firasat itu tidak pernah bohong. Jadi, mendekatlah padaku, karena kita memang takdir. Tidak, aku tidak ingin menyebut bahwa kita adalah jodoh. Itu karena kebanyakan orang bilang kalau mereka jodoh, tapi kenyataannya di tengah jalan mereka berpisah. Itulah alasannya, mengapa aku menyebut takdir, dan firasat.

Ah, mari kita lanjutkan. Sampai mana tadi? Ah ya, hujan. Kamu pernah dengar, bahwa hujan adalah pembawa berkah? Berkah apapun itu. Itu memang benar, karena hujan pembawa cinta. Karena hujan adalah perantara kita untuk bertemu. Ingat tidak, kita belum saling kenal waktu itu. Aku hanya bisa menunggu seseorang untuk menjemputku di tengah derasnya guyuran air hujan, dan kamulah yang terpilih. Kamu yang berhasil menemukanku, dan selanjutnya melindungiku dengan segenap jiwamu. Tapi, tunggu. Aku melupakan sesuatu. Biar aku koreksi sekali lagi. Selain pembawa berkah, hujan juga pembawa petaka.

Terimakasih. Kamu meghalangi air hujan itu dengan payung yang kamu bawa. Payung itu berwarna kuning dengan gambar bunga-bunga kecil di sekeliling bundarannya. Kamu berdiri tepat di hadapanku dalam diam, menatapku begitu lama dengan pandangan yang membingungkan. Kamu tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Sungguh, aku tidak pernah bohong, aku girang bukan main waktu itu. Dengan lantangnya firasatku berkata,

“Aku menemukannya. Aku menemukannya!”. Dan ternyata memang benar, aku memang menemukanmu.

Kamu datang sangat lama. Badanku benar-benar menggigil karena menunggumu. Hampir saja aku putus asa jika saja firasatku waktu itu tidak terus menjerit-jerit agar tetap bersabar. Dasarnya, kesabaran itu membuahkan hasil juga. Setelah kamu menatapku lama, barulah kamu memeluku erat. Aku dibuat terkaget-kaget olehmu. Aku tidak percaya saat pertama kali kita bertemu kamu sudah memelukku duluan. Niatnya aku mau meronta, tapi lagi-lagi firasatku berkata,

“Jangan pernah menolak. Karena takdir tidak akan pernah bisa di usir.” Aku urung, alih-alih menolak, aku malah balas memelukku. Iya, itu karena tidak ada alasan yang lain. Aku sangat kedinginan waktu itu. Benar-benar kedinginan. Dan menyakitkan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pucatnya diriku waktu itu. Mungkin, jika aku melihat wajahku sendiri aku akan ketakutan. Tapi kamu tidak. Kamu malah memegang payung itu untukku, sementara badanmu kebasahan karena hanya separuh saja yang tertutup oleh payung dan membiarkan tubuhku terhalang dari air hujan sepenuhnya. Aku tidak tega melihat seperti itu, tapi aku benar-benar lemas. Kamu tahu, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain melihatmu.

Jelas sekali bagiku kalau kamu lebih peduli padaku ketimbang pada badanmu sendiri. Kamu memapahku dengan penuh kesabaran, membiarkan kepalaku bersender pada bahumu. Kadang, takdir memang kejam dan sangat susah untuk di kendalikan. Ah, tunggu. Bukankah sebelum kamu memapahku, kamu bilang sesuatu di telingaku. Kamu berbisik pelan dan penuh kelembutan,

“Dimana rumahmu? Biarkan aku mengantarmu pulang.” Tapi aku hanya diam. Sama sekali tidak merespon pertanyaanmu. Aku sudah bilang, aku terlalu lemas, bahkan untuk bicara. Yang bisa aku lakukan hanyalah menatapmu. Memandangmu tanpa jeda. Karena kamu tahu, aku takut, setelah itu kita berpisah dan tidak bertemu lagi.

Ingin rasanya aku menonjok mukamu waktu itu. Setelah aku tidak menjawab apapun, kamu tanpa seizinku membopong badanku. Aku terkejut setengah mati! Aku benar-benar kaget karena sesuatu yang tak terduga itu. Tapi nyatanya, setelah itu, aku tidak jadi ingin menonjok wajah tampanmu. Aku sudah rileks, badanku sudah tidak terlalu kedinginan. Dan itu semua karena kamu. Karena sepanjang perjalanan, kamu mendekapku dengan sangat erat.

Waktu itu adalah pertama kalinya aku berkunjung ke rumahmu. Ya, kamu memang membawaku ke rumahmu. Sungguh, aku tidak menduganya sama sekali. Awalnya aku takut, tapi lagi-lagi firasat itu berkata lagi mempengaruhi otakku,

“Dia itu takdir. Dan sejauh apapun kamu menolak, takdir itu akan selalu mengejarmu hingga dapat.” Aku tidak jadi pergi, lagipula keadaanku tidak memungkinkan untuk pergi dari rumahmu yang asing bagiku. Sampai di rumahmu itu, kamu membaringkanku di atas kasur yang berukuran besar dengan bantal-bantal empuk yang tertata rapi. Duh, aku benar-benar tidak enak karena membuat kamarmu jadi basah gara-gara aku. Tapi lagi-lagi kamu lebih mempentingkan aku ketimbang kamarmu.

Kamu memanggil seseorang. Aku tidak tahu siapa itu. Kemudian, aku berbicara padanya sebentar, dan keluar dari kamar meninggalkanku dengan peremupuan yang baru saja di panggil olehmu. Perempuan itu kelihatannya lebih muda dari padaku. Dia tersenyum ramah, tapi terlihat samar di mataku. Kemudian perempuan itu berkata dengan lembut,

“Kakak menyuruhku untuk menggantikan bajumu agar tidak kedinginan. Tenanglah, lagi pula aku punya banyak baju ganti. Jadi kamu tidak perlu khawatir, dan aku tidak akan melakukan apapun. Trust me.” Katanya diselingi senyum yang merekah manis. Tidak seberapa lama, perempuan itu sudah mengambil baju, entah dari mana asalnya. Dia menutupi seluruh badanku dengan selimut tebal, lalu tangannya perlahan menyusup ke dalam selimut itu, dan mulai melucuti pakaianku. Tidak, aku tidak akan cerita banyak tentang ini padamu. Kamu kan laki-laki.

Selesai berganti, barulah kamu masuk ke dalam dan langsung duduk di tepi ranjang. Kedua tanganmu membawa baskom dengan air hangat di dalamnya. Kamu berniat untuk menurunkan demamku. Kamu tersenyum, dan untuk pertama kalinya aku melihat senyummu itu. Senyum yang manis, dan indah untuk di pandang.

“Tidurlah disini, aku akan merawatmu.” Kamu mengelus lembut keningku, menyilakan rambutku yang tersebar di kening. Dengan telaten kamu memeras lap kemudian menempelkan pada keningku, hingga seterusnya. Sampai mataku perlahan terpejam. Terpejam lama, sampai pagi. dan tidak tau lagi bagaimana denganmu.

Karena ketika aku bangun, kamu sudah tidak ada lagi di sisiku. Sudah tidak ada lagi air di dalam baskom, ataupun lap di atas kening. Hanya ada kamarmu, dan baju pemberian dari adikmu itu. Kamar yang aku tempati kosong tidak berpenghuni, sepi senyap, tanpa seorang disana. Hanya ada aku seorang diri, dan deruan nafasku yang yang memburu.

Kamu tahu, ketakutanku yang melintas pertama kali adalah, aku tidak akan bertemu denganmu lagi, dan aku belum sempat mengucapkan terimakasih untukmu. Kamu tahu, waktu aku mencarimu, firasatku seolah berhenti bekerja, dalam diriku tidak ada lagi suara-suara yang mempengaruhi cara berfikirku. Aku benar-benar takut. Mungkinkah bahwa firasat itu mati? Mungkinkah jika takdir itu malah menghindar dariku? Demi apapun yang ada di dunia ini, aku takut.

Aku mencarimu kemana-mana. Ke seluruh penjuru rumah. Tapi tidak ada siapapun disana, hanya ada aku seorang diri. Yang menangis karena putus asa. Benarkah kalau kita tidak bisa bertemu lagi? Tapi kamu bilang bahwa kamu akan merawatku, sementara aku belum sembuh dari demamku. Iya, aku memang menuntut. Tapi, bisakah kamu kembali untuk sebentar saja? Aku ingin mengucapkan terimakasih padamu. Karena kamu peduli, karena kamu tersenyum padaku, karena kamu merawatku, dan karena kamu menjadi dewa penolongku.

Tidak! Mana mungkin firasatku berbohong?! Pasti kamu tidak pergi begitu saja, iya kan? Kamu pasti kembali, suatu saat nanti padaku. Aku benar-benar kacau sekarang, wajahku basah karena air mata. Tapi, kapan kamu kembali lagi? Haruskah aku menunggumu lagi seperti semalam? Jujur, aku tidak suka menunggu. Aku tidak ingin.

“Jangan jadi keras kepala. Takdir tidak akan pernah bisa menjauh.” Firasatku muncul lagi. Mungkinkah kamu datang kembali? Mungkinkah itu?! Tapi dimana kamu?!

Tapi, sungguh. Aku bisa melihatmu sekarang. Aku segera berlari kecil ke arahmu, kamu duduk di tepi kasur, membelakangiku. Oh sungguh, kenapa aku tidak melihatnya tadi? Tapi, tunggu. Kenapa bahumu bergetar dan naik turun? Kamu pasti sedang bercanda. Ehm, mana mungkin kamu menangis. Bukankah seharusnya aku yang menangis karena terlalu lama menunggumu?

Aku mendekatimu. Kemudian mencoba untuk menyentuh bahumu. Aku tidak bisa?! Hey, sungguh! Bagaimana bisa bahumu tertembus begitu saja olehku? Ya ampun, ini benar-benar lelucon. Aku mencoba untuk meraih bahumu lagi. Tapi tidak bisa lagi. Hey?! Kenapa denganmu? Atau denganku? Kenapa semua ini sangat membingungkan? Aku semakin mendekatiku, berdiri di sampingmu. Dan sungguh, aku tidak bisa berkata apapun.

Apa yang aku lihat? Bagaimana bisa aku melihat diriku sendiri terbaring di atas kasur dengan wajah pucat pasi seperti itu? Tidak. Ini tidak mungkin. Mana bisa seperti itu?! Siapapun itu, tolong jelaskan padaku. Kenapa kamu malah terus menangis, aku ada disini, di sampingmu. Tapi, kenapa kamu terus terpusat pada diriku yang lain, yang terbarung di atas kasur itu?

HEY?! Aku benar benar-benar berteriak sekarang. Tapi, kenapa kamu sama sekali tidak menoleh padaku? Aku ada di sampingmu! Aku ada di sampingmu! Sungguh. Menolehlah. Tataplah aku. Aku ada disini, bukan di atas kasur itu.

AKU BILANG DENGARKAN AKU, OKEY?!

Apa yang terjadi sesungguhnya? Kenapa kamu terus menangis dan tidak mendengarkanku?! Kenapa…

Aku diam. Aku termenung. Aku hanya bisa melihatmu. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Tunggu, aku merenung, dan hanya bisa melihatmu. Bukankah itu sama saja dengan kejadian semalam?

Tahukah kamu sekarang, aku menangis. Aku benar-benar menangis tanpa bisa membendungnya. Aku ingat semuanya. Aku mengingatnya.

Aku melihatmu, di persimpangan jalan. Membawa payung kuning cerah di malam hari. Aku mengingatnya sekarang, dengan baik. Aku terlalu bersemangat, aku terlalu ingin mengenalmu. Aku terlalu obsesi padamu. Aku menyabrang jalan, aku tidak melihat kanan kiriku. Karena hanya kamu yang aku lihat. Ya Tuhan, aku semakin deras menangis. Dan begitupula denganmu sekarang.

Iya. Aku menyeberang jalan. Tanpa melihat bahwa ada mobil dengan kecepatan tinggi yang melintas. Membelah derasnya air hujan. Sementara payungku terbang entah kemana. Tubuhku basah. Badanku sangat sakit. Darahku bercucuran karena tertabrak mobil itu. Aku hanya bisa melihatmu. Aku tidak bisa melakukan apapun selain melihatmu yang terkejut.

Iya. Badanku sangat sakit. Darah yang aku keluarkan ikut terbawa air hujan, di sekitarku hanya ada warna merah. Kamu sangat lama. Aku sudah kesakitan sekarang. Tapi kamu benar-benar lama. Atau, memang waktu yang terasa sangat lama, padahal aslinya cepat? Aku tidak tahu, aku hanya tidak bisa berpikir dengan benar. Aku menunggumu!

Kamu berdiri di depanku, menghalangi air hujan yang mengenai tubuhku. Kemudian kamu memapahku berdiri, tapi aku tidak bisa. Kemudian kamu membopongku dan membawaku pergi dari tempat itu. Kamu panik, kamu lari, kamu mendekapku erat, hingga aku kehilangan kesadaran. Lalu, sadarlah aku bahwa kamu membawaku ke rumah ini, tapi saat itulah, aku memejamkan mataku. Memejamkan mataku hingga sampai saat ini. Hingga membuatmu menangis.

Bukankah itu artinya, aku sudah meninggal?

Bukankah seperti itu?

Aku melihatmu lagi, kamu mengguncang-guncang tubuhku dengan keras, tapi aku sama sekali tidak merasakan guncangan itu. Merasa di sentuhpun tidak. Kamu menarikku ke dalam dekapanmu, tapi lagi-lagi aku tidak merasakannya.

Sadarlah aku tentang takdir, dan firasat yang menuntunku. Iya. Takdir memang tidak bisa di tolak, dan firasat terlalu sulit untuk dikelabui. Karena takdir itu memiliki alasan yang pasti, alasan yang sebelumnya tidak aku ketahui. Alasan bahwa, saat itulah waktunya aku pergi dari bumi ini. Dan juga, alasan untuk bertemu dengan orang sepertimu.

Kamu masih terus menangis. Aku semakin melemah. Mungkin, sebentar lagi malaikat akan datang dan menarikku pergi. Tapi, sebelum aku pergi, Ingin sekali aku mengusap air matamu, lalu bilang dan berbisik tepat di daun telingamu, bahwa aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Hanya ada jasadku disana.

Dan, terimakasih. Karena sudah membawaku kemari.

Selamat tinggal.

MAAFKAN AKU :'(

MAAFKAN AKU :'( 


Pagi ini tidak jauh beda dengan hari kemarin dan hari hari sebelumnya, masih sama. Tidak ada yang berubah, masih penuh dengan rangkaian aktifitas yang sama yang sudah menunggu untuk di kerjakan.  Rasanya kehidupan ini tidak ada warnanya, rata bagaikan kertas putih tanpa gambar yang menarik.
Aktifitas seperti ini sudah aku lakukan hampir 5 tahun, aku melakukan semuanya dengan sama semenjak aku bekerja diperusahaan swasta di kota padang. Rasanya selama itu pula aku tidak menjenguk orang tua ku dikampung. Namaku Joshua, aku bekerja sebagai manager marketing diperusahaan itu. Memang tidak memudah mendapatkan jabatan ini, aku akui aku berhasil sampai ketahap ini karena usaha keras ku dan doa dari kedua orang tuaku.
Terkadang aku merasa malu untuk menghubungi orang tua ku dikampung, bukan karena aku  malu karena memiliki orang tua yang sudah tua dan renta. Tapi karena aku belum memberikan apa apa kepada mereka selama aku bekerja. Aku akui, kesibukanku juga menjadi salah satu penghambat besar untuk aku menghubungi mereka dikampung.
Sebenarnya setiap malam aku selalu termenung, memikirkan apakah mereka dikampung sehat sehat saja? Apakah mereka merindukan ku? Apakah mereka tidak membutuhkan sesuatu ? apakah mereka ? blab la bla begitu banyak pertanyaan dibenakku.
Lima tahun bekerja diperusahaan ini membuat aku menjadi anak yang tidak sensitive kepada orang tuaku, berbeda dengan aku dimasa sekolah dulu. Hampir setiap menit aku memperhatikan semua kebutuhan orang tuaku. Mungkin karena dulu aku tinggal satu kota dengan mereka, aku juga merupakan anak satu satunya mereka.
Sudah seminggu ini pikiranku semakin berkecambuk, rasanya ada sesuatu yang salah dengan kehidupanku. Seminggu ini aku bermimpi buruk, seperti ada yang buruk yang akan terjadi. Tapi aku tidak tahu apa itu. Terkadang dalam mimpi aku melihat ibuku tertawa diatas tempat tidur rumah sakit, terkadang aku melihat sedang berdiri dibesarnya ombak lautan.
Aku benar benar tidak mengerti dengan mimpi mimpi itu, seperti ingin menjelaskan sesuatu. Tapi aku benar benar tidak mengerti. Selepas malam aku selalu merasa nyawaku kembali, mungkin karena aku terlalu memikirkan mimpi mimpi yang tidak mengenakkan itu.
Pagi ini aku kembali melanjutkan aktifitasku, dan seperti biasa aku sengaja menutup hati nuraniku untuk menghubungi ibu dan ayahku dikampung.
Pagi ini aku sarapan dengan roti dan susu, rasanya memang tidak senikmat masakan ibu dikampung. Tapi apa boleh buat, kehidupan dan ekonomiku sudah berubah. Semuanya harus disesuaikan dan harus menjadi gaya hidup baru ku.
Selesai sarapan aku mengambil tas kantor yang sudah menanti di sudut sofa ruang kerjaku. Selama perjalanan aku hanya menatap kekiri dan kekanan kota ini. Kota tua yang besar dan modern, untung aku memiliki supir. Jadi setiap menuju perjalanan ke kantor aku bisa sejenak menikmati pemandangan kehidupan jalanan dipagi hari.
Terkadang mataku tak sengaja melihat pemandangan yang memilikukan, seorang ibu tua berjualan Koran di tengah lampu merah. Terkadang aku membayangkan apa jadinya ibuku jika seperti dia. Apakah anak anaknya tidak ada yang perduli pada ibu penjual Koran itu? Kadang pertanyaan itu justru yang menyindir dan menampar hatiku sendiri.
Sudahlah, mau sampaikapan aku menyalahkan perasaanku. Sesampai dikantor aku disambut dengan senyuman senyuman palsu dari para karyawan yang sebenarnya sudah terlihat muak dengan aktifitas kerja yang itu itu saja. Sebenarnya aku tidak jauh berbeda dengan mereka. Hanya saja nasip ku lebih baik dari mereka yang hanya pekerja biasa.
Belum berjalan satu jam, mendadak hatiku benar benar sudah seperti api yang membara karena marah. Kenapa aku membiarkan kehidupanku seperti ini? Kenapa aku tidak mencoba menghubungi ibu dan ayahku?
Tanpa aba aba air mataku menetes dan semakin deras, ini pertama kalinya aku menangis seperti seorang pria yang masih kanak kanak. Kubuka tas kerjaku dan kuraih handphone ku, betul saja sepertinya jemariku ikut bersemangat menekan nomor rumah tetangga ibuku dikampung.
Sekali lagi aku malu mengakuinya, pekerjaanku yang mapan memang tidak mengubah keadaan orang tuaku. Jangankan membangun sebuah rumah yang nyaman untuk mereka, telfon rumah atau handphonepun tak satupun kuhadiahkan kepada ibu dan ayah.
Selama ini aku bisa membeli mobil yang kuinginkan, tetapi telfon saja tak pernah kubelikan untuk mereka. Menunggu beberapa saat akhirnya telfonku diangkat.
Selamat pagi, ini dengan siapa ya? Jawab mbok surti si tetangga ibuku
Ini Joshua mbok, apa kabar? Sahutku malu
Mbok baik jo, kamu gimana? Sudah lama sekali tidak ada kabar darimu. Apakah tidak kangen dengan ibu dan ayahmu nak? Sindir mbok kepadaku
Hahahha bisa saja mbok, saya sehat mbok. Ia kemarin kemarin memang sedang sibuk saja pekerjaan saya. Oh ya mbok, ada ibu disebelah? Tanyaku sambil berharap si mbok tidak menyindirku lagi
Oh… rumahmu kan kosong, kan sudah 1 minggu rumahmu tidak ditinggilai bapak dan ibumu jo. Kan ibu mu sedang sakit, jadi bapakmu pergi menemani ibumu ke rumah sakit yang ada di kabupaten, piye toh jo? Kok kamu ndak tau? Mbok kira kamu malah udah nyusul kerumah sakit. Kata mbok sambil sedikit marah
Rasanya mendengar kabar dari mbok surti  membuatku malu, marah dan sedih. Malu karena aku sendiri tidak tahu bahwa ibuku sedang sakit dan sudah dirawat selama 1 minggu. Marah karena aku begitu tega tidak memperhatikan mereka selama 5 tahun ini. Aku sedih karena mendapat kabar seperti ini dari orang lain.
Aku tidak menyalahkan orang lain karena tidak mengabariku, karena ini sepenuhnya salahku. Setelah selelsai menelfon aku langsung berlari keluar ruangan dan menju rumah. Dalam perjalanan pulang aku menelfon sekretaris dan atasan ku untuk minta cuti.
Tanpa piker panjang aku langsung meminta supirku menuju pelabuhan. Aku hanya membawa dompet dan hanphoneku, tak satupun baju yang kubawa, tidak ada kendaraan lain untuk bisa menuju rumah orang tuaku, mereka tinggal disebuah pulau kecil, nama pulau itu adalah sikakap. Pulau kecil yang indah dan sangat sulit mencapainya.
Karena sudah tidak ada pilihan lain aku langsung membeli tiket dan menuju kapal. Memang tidak begitu mudah mendapatkan tiket, karena aku membelinya dadakan tanpa memesan dan mengantri terlebih dahulu. Saat itu ratusan orang dengan tujuan yang sama denganku berusaha berebutan membeli tiket.
Cuaca dan kondisi laut sepertinya sedang tidak bersahabat. Awan hitam sudah menanti kapal ditengah laut. Keadaan saat itu lumayan menggetarkan niatku, apakah aku akan tetap berangkat dengan kondisi cuaca seperti ini? Belum lagi padatnya kapal itu. Manusia sudah seperti semut yang membanjiri sebuah baskom besar.
Rasa rindu dan panic karena ingin melihat keadaan ibu membuatku tidak pikir panjang lagi. Aku menenangkan hatiku untuk tetap tenang dan tidak perlu takut. Aku yakin aku akan baik baik saja. Beberapa menit kemudian kapalpun mulai bergerak, suara serene menandakan kapal akan segera meninggalkan dermaga.
Sepertinya kapten mengetahui keresahan hatiku, dia mengumumkan menggunakan microphone bahwa perjalanan akan baik baik saja, cuaca aman dan tidak akan mengganggu perjalanan. Jujur saja, pernyataan dari kapten itu menenangkan hatiku.
Baru dua jam perjalanan, cuaca semakin tidak bersahabat. Petir mulai bergantian menhentakan jantung ku dan semua penumpang. Hujan deras dan angin kencang membuat suasana semakin tidak karuan. Ombak lautan semakin arogan, lautan seperti ingin menggagalkan niatku. Atau alam memang marah karena aku sudah terlalu lama menyadari kebodohanku selama ini.
Jantungku seperti mau copot, keadaan semakin tidak mengenakan hati. Kapal yang aku naikipun sudah mulai miring kekanan, ini pasti karena pihak jasa terlalu banyak menerima penumpang. Miringnya kapal membuat keseimbangan kapal semakin tidak terkontrol lagi. Satu persatu barang barang berjatuhan, barang bawaan penumpang mulai masuk kedalam dasar laut tanpa hentinya.
Mataku melihat dengan jelas karung karung besar, motor, ternak mulai berjatuhan dan ditelan ombak dengan lahapnya. Jeritan manusia manusia itu semakin keras  memecahkan suara petir pada malam itu. Aku tercengang, kucari pegangan terkuat, aku hanya bisa memegang tiang besi disebelah kursi.
Mataku semakin tak henti terbelalak saat melihat sekarang manusia yang mulai berjatuhan ke lautan. Tak tanggung tanggung aku bahkan melihat anak kecilpun menjadi korban kecelakaan. Ombak semakin lahapnya menanti manusia manusia yang sudah mulai terlepas dari pegangannya.
Peganganku mulai melemah, keadaan kapal yang miring membuat peganganku terpelas. Untungnya sebuah kursi dikapal itu bisa kuraih, seperti ada yang menarik kakiku dengan keras. Saat mataku melihat kebawah, ternyata seorang ibu hamil sedang berpegangan dikakiku. Ingin rasanya aku membantunya, tapi jika aku melepaskan genggamanku maka kami berdua akan mati bersama sama.
Kondisi semakin campur aduk, kapal mulai diselimuti air. Sepertinya aku harus keluar dari kapal ini atau aku akan ditelan ombak bersama sama dengan kapal ini. Entah apa yang membuat tiang penyangga kursi itu patah, dalam hitungan detik aku dan ibu hamil itu tenggelam.
Aku berusaha menarik tangannya didalam air, sementara tanganku yang satu lagi masih berpegangan dengan kursi itu. Untung saja kursi itu berbahan plastic dan mengapung. Tubuhku tertarik kepermukaan dan untung saja ibu hamil itu pun berhasil ku raih.
Kami berpegangan dengan kursi itu, ibu hamil itu sepertinya sudah tidak tahan lagi. Tanpa berfikir lagi aku ambil ikat pinggang kerja yang masil melilit di pinggangku dan kuikatkan ke pergelangan tanggannya dan kuikatkan sisi lain ke tanganku. Ini untuk mengantisipasi kalau tiba tiba ibu hamil itu pingsan.
Entah apa yang terjadi pandanganku mulai kabur dan gelap. Sepertinya aku pingsan, beberapa saat sebelum pingsan bibirku sempat mengucapkan ibu aku pasti akan pulang dan menjengukmu serta memelukmu. Maafkan kesalahanku ibu. Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi selama aku pingsan. Tapi saat tersadar aku sudah berada diperahu karet dengan penumpang yang selamat lainnya.
Aku ingat diatas perahu karet itu ada seorang kapten yang selamat, dan 1 diantara tujuh penumpang lainnya adalah ibu hamil yang kuselamatkan itu. Untunglah kami diselamatkan dan diangkat ke perahu karet.
Diatas perahu karet itu ada sedikit makanan yang tersisa dan mereke pungut saat mengapung didekat tenggelamnya kapal itu. Makanan itupun sedikit sekali jika dibandingkan dengan kebutuhan 9 orang yang selamat.
perutku benar benar lapar dan ingin makan, aku tau penumpang lainnya juga merasakan hal yang sama. Tapi jika aku egois mungkin yang lain juga akan egois, jadi aku bersabar saja menunggu jatah. Kebutuhan makanan yang ada tidak sebanding dengan rasa lapar kami. Hal ini menimbulkan sebuah masalah. Jangan jangan karena berebut makanan kami akan membunuh yang lain.
Karena merasa ini merupakan permasalahan penting, kapten kapal mengajarkan cara bertahan hidup dilautan. Kapten berkata siapa yang curang dia akan dibuang kelaut. Merinding sekali aku mendengar ucapan kapten itu. Tapi itu lebih baik dari pada membiarkan rasa egois kami memberanikan diri untuk melukai yang lain hanya karena makanan.
Selama sepuluh hari kami terapung, dan selama sepuluh hari juga aku merenungi kesalahanku. Bahkan aku sudah membuat rencana jika sudah sampai didaratan, itupun jika kami selamat. Jika selamat nanti, aku akan memeluk ibu dan ayahku, aku akan minta maaf dihadapan mereka dan berjanji tidak akan melukai perasaan mereka lagi.
Kejadian ini membuat aku menghargai arti sebuah kehidupan, aku tidak dapat membayangkan jika kejadian ini menimpa ayah dan ibuku. Selama ini aku tidak memikirkan bahaya yang menimpa mereka jika aku tidak disisi mereka.
Aku juga akan membawa mereka ke kota, dan membawa ibu kerumah sakit yang terbaik disana. Aku akan membuat hari tua mereka menjadi lebih bermakna. Aku akan membuktikan kepada orang orang bahwa ibu dan ayahku juga bisa bahagia dan bangga memiliki anak sepertiku.
Maafkan aku ibu, maafkan aku ayah.