Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau dan aku akan menjadi kita. Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau kini menjadi orang yang akan selalu ada di sampingku. Bahkan awalnya, aku menyangka dialah laki-laki yang sedang aku peluk erat lenggannya, bukan kamu seperti saat ini. Namun, aku harap kau tak salah paham, walaupun awalnya aku tak menyangka, kini aku sadar aku sungguh mencintai dan menyayangimu sebagai kekasih, bukan seorang adik.
Langit malam di kotaku kali ini benar-benar begitu indah, dinginnya angin malam semakin membuat malam ini begitu menggoda. Aku menolehkan wajahku pada sosok laki-laki yang saat ini sedang berada tepat di sisiku, aku mengelus lembut wajahnya yang begitu dingin. Laki-laki itu memberikan senyuman terhangat padaku di tengah dinginnya malam, dan kecupan hangat yang mendarat di keningpun benar-benar membuatku semakin menyayangi laki-laki itu. Aku memeluk lengannya semakin erat, hingga tak ada yang mampu memisahkan kita, bahkan angin malam pun enggan mengganggu kehangatan kita. Malam itu Bandung benar-benar membuatku sempurna.
—
Hari berlibur telah usai. Bagiku beberapa minggu berada di California lumayan juga. Pohon-pohon palem, Samudera Pasifik yang amat begitu luas membentang hampir seluas langit, warna-warna pastel yang sedang in, semua itu mampu membuatku terpesona. Aku harap setiap liburan semester California akan selalu tetap mempesona. Memang benar, setiap enam bulan sekali aku, ayah, dan ibuku pasti akan pergi ke California Utara itu untuk sekedar melihat keadaan Nenek. Sulit sekali membujuk nenek untuk pindah ke Indonesia, alasan nenek sih simple yaitu kenangan. Oke, sebagai anak muda aku begitu paham jika menyangkut kenangan, mungkin kepergian kakek masih begitu meninggalkan luka, jelas saja kakekku meninggal karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Oh, ya walaupun aku cucu dari nenek dan kakek yang berada di California, liburan ini adalah kali pertama aku berada di kediaman mereka. Tapi bukan berarti aku tidak pernah bertemu nenek dan kakekku, biasanya merekalah yang mengunjungi kami, mereka bilang rindu Indonesia, tapi tak mau meninggalkan California. Mungkin kenanganlah yang sulit mereka tinggalkan.
Rasa lelah dan kantuk begitu melekat, aku masih sulit untuk keluar dari jeratan tempat tidur yang sudah aku tinggalkan selama aku di California. Sementara di luar kamar ibuku sudah ngomel-ngomel karena ternyata bukan cuma aku yang masih sulit keluar kamar, ayahku pun sama denganku, jelas saja sepagi ini ibu sudah uring-uringan seperti ini.
“ya sudah ayah, ibu Vivi pamit ya, bye” aku mengecup pipi kedua orangtuaku itu.
“hati-hati sayang” mereka melambaikan tangan dan melemparkan senyum yang selalu berhasil membuatku begitu bersemangat, apalagi ini adalah hari pertama dimana aku harus kembali menjalani aktifitasku sebagai murid SMA, setelah kami berlibur ke California.
Tidak terlalu pagi memang, namun suasana di dalam kelasku masih begitu sepi, mungkin mereka sama denganku, malas untuk kembali beraktifitas setelah hampir satu bulan kami berlibur. Namun, selain senyuman hangat kedua orangtuaku, ada penyemangat lain yang membuat aku harus selalu datang ke sekolah. Bahkan jika tidak sampai masuk rumah sakit, jika hanya flu atau demam biasa aku akan memaksakan untuk tetap datang ke sekolah, alasannya adalah karena mereka, sahabatku, kakakku, dan dia.
“hallo cantikkk” suara super melengking itu akhirnya kembali aku dengar, dia adalah Susan, sahabatku – satu-satunya. Aku memiliki banyak teman tapi tidak untuk sahabat.
“hai suara emasss” aku berteriak tepat di telinga kanannya. Dia sempat meringis, namun tak lama dia akhirnya duduk di sampingku.
“ah bisa aja deh lo, eh gue kangen banget Vi, gimana-gimana lo harus certain semua tentang California sama gue, HARUS!” Susan menekankan suara pada kata ‘harus’ ya jadi mau tidak mau aku harus menceritakan semua apa yang aku lihat pada sahabatku itu.
“tapi ada syaratnya San, lo harus certain apa yang lo tau dan gue enggak masalah kak Willy selama gue di California, oke?” Awalanya, Susan begitu terlihat ragu namun akhirnya dia tersenyum dan menyatakan bahwa syaratnya akan dia penuhi.
Dengan begitu serius Susan mendengarkan apa yang aku ceritakan, sebentar-sebentar dia terpukau tapi satu detik setelah itu dia bilang ‘ah itu biasa aja Vi’. Dia memang sahabatku yang super rempong, tapi dia begitu mampu membuatku tertawa.
“oke, itu A sampai Z mengenai California. Sekarang gimana kak Willy? dia sempet tanyain gue gak?” aku selalu antusias jika kami membahas tentang senior kami yang bernama Willy.
“hmm selama liburan ini dia sakit Vi, dia kena tifus. Tapi tenang dia hari ini masuk sekolah kok, dan waktu gue bareng kakak gue jenguk, dia sempet nanyain lo kok”
Aku sempat terkejut mendengar apa yang dikatakan Susan. Sakit? ah harusnya aku ada di sisi kak Willy. 10 bulan bagiku itu adalah waktu yang cukup melelahkan untuk menunggu seseorang. Namun, aku masih begitu setia dengan kelelahan ini, karena memang hal yang melelahkan itu sendiri lah yang membuat ku tetap bertahan, karena dia selalu memberi banyak harapan.
Semakin lama, banyak yang mulai mengetahui bahwa aku mencintai kak Willy, dan aku yakin kak Willy pun tahu jika aku mencintai dirinya. Namun, tak ada sikap perubahan apapun yang terlihat darinya. Ia tetap sama saja dengan sebelumnya. Aku tak pernah tahu apa maksud dari sikapnya padaku selama ini, ia begitu dekat denganku, namun, ia masih tetap saja menggantungkan kedekatan kita, ia tetap saja memberikan beribu harapan padaku, walaupun tak ada satu harapan pun yang ia buat menjadi kenyataan.
Setelah mendengar kabar dari Susan, aku bergegas menemui kak Willy di kelasnya. Sebenarnya agak ragu untuk menuju kelasnya itu, jelas saja kelas kak Willy berada di paling ujung, dan mau tidak mau aku harus melewati sepuluh ruangan kelas dua belas. Sementara semua mata para senior itu begitu menyeramkan, apalagi melihat aku berlari dan mereka merasa terganggu. Ada beberapa senior yang berteriak, ada yang melotot, namun kebanyakan dari mereka kebingungan. Dan ketika sampai di depan kelas kak Willy, aku melihat dia sedang dikerumuni teman-temannya, mungkin mereka juga ingin tahu bagaimana keadaan temannya itu. Aku tak mampu berbuat apa-apa, jika aku tiba-tiba mengetuk pintu dan ingin meminta izin untuk berbicara berdua dengan kak Willy mungkin belum sempat aku menanyakan keadaan kak willy aku sudah menjadi bahan pelototan teman-teman kak Willy. Hih aku merinding sendiri, namun ketika aku akan pergi meninggalkan kelasnya, seseorang melambaikan tangannya padaku. “kak Ridwan” aku berteriak dan membalas lambaian tangannya. Aku segera menghampirinya. Namun, aku rasa ketika aku berlari dan berteriak nama kak Ridwan, dan juga ketika aku kembali menoleh ke arah kelas kak Willy, ia sempat keluar dari dalam kelasnya dan melihat aku dan kak Ridwan berpelukan.
—
Akhirnya kami memutuskan untuk memilih restoran Jepang untuk makan siang kali ini. Selera kami selalu sama, kami memesan mie ramen yang tingkat kepedasannya sangat tinggi. Aku sudah merasa cocok dengan kak Ridwan, dia begitu baik, dia selalu menyempatkan waktu untukku, dia selalu membelaku, dia selalu membuatku menjadi spesial, dan kami saling menyayangi. Ah, pokoknya kami berdua sangatlah cocok untuk menjadi saudara kandung, tapi sayangnya kita bukanlah saudara kandung, bagiku dia adalah ‘kakak ketemu gede’. Sejak kecil aku selalu bemimpi ingin memiliki saudara laki-laki apalagi seorang kakak, namun itu tidak mungkin karena menurut dokter ibuku tidak bisa mengandung dan melahirkan lagi, karena ada kelaianan dalam rahimnya. Namun, benar tak ada yang tidak mungkin, toh kakak laki-laki kini bukan hanya khayalan saja, kak Ridwan kini ia bukanlah senior biasa bagiku, namun dia adalah kakakku.
“gimana Vi, California?”
“lumayan kak, kakak gimana Surabaya?” aku selalu senang jika kami memiliki waktu berdua seperti ini. jelas saja, walaupun kak Ridwan selalu berusaha menyempatkan waktunya, tapi di sisi lain aku selalu tidak enak, apalagi ingat jika kak Ridwan memiliki kekasih.
“lumayan” dia menjawab dengan datar. “Cuma lumayan doang?” aku benar-benar bingung dengan jawaban kak Ridwan.
“memangnya kenapa? bukannya kamu juga tadi jawab lumayan yah?”
“hah? ohh iya ya” aku menggaruk-garuk kepalaku, lagi-lagi aku selalu terlihat garing di depannya. Namun, tak lama kak Ridwan tertawa dan mengacak-ngacak rambutku. Sampai akhirnya mie ramen super pedas pesanan kami telah datang.
“oh ya kak, kakak tau kan kak Willy sakit dan sampai masuk ruangan perawatan? aduh aku jadi kasihan, dan rasanya aku mau meminta maaf karena aku gak ada waktu dia sakit, gimana menurut kakak?” aku yakin kak Ridwan sudah bosan mendengarkan aku yang selalu mencoba membahas tentang kak Willy, sampai-sampai ia hanya menjawab dengan bahasa tubuh, mengangguk, menggelengan, atau hanya merespon dengan ‘hm’ ‘oh’ ‘ya’.
Namun, setelah mie ramen miliknya telah habis ia santap, kak Ridwan mulai membuka mulut.
“kamu masih tetep suka sama Willy Vi? apa kamu gak cape nunggu hampir satu tahun, di gantung kayak gini? dan kamu gak lupa kan yang ngerasa dia gantung itu banyak”
“kak, kak Willy ngasih aku harapan ko, dia gak gantung aku seenaknya. Setidaknya aku di gantung pake gantungan yang bagus, bukan yang udah karatan. haha” aku mencoba menjawabnya dengan lelucon, tapi aku rasa itu benar-benar tidak lucu, maka dari itu aku tak suka jika masalah perasaan di kait-kaitkan dengan lelucon. Karena bagaimana pun tak selaras.
“mau pake gantungan baru atau udah karatan sama aja Vi, sama aja di gantung, dan nunggu sampe kering itu lama”
“tapi kalau udah kering pasti di lepas dari gantungan kan kak?”
“tuh kan kamu udah lupa lagi, kalau kamu di lepas dari gantungan semua juga akan ikut dilepas, gimana tuh? kepastiannya? dan kamu harus inget dia menyebarkan benih-benih harapan ke semua gantungannya”
“aduh udah lah, tambah gak ngerti. Mening pulang yuk kak” aku menarik lengan kak Ridwan.
Kami menaiki sepeda motor, dan selama dalam perjalan kak Ridwan mengantarkanku pulang, aku terus memikirkan pembicaraan kami tadi. Jujur aku sama sekali tidak mengerti, namun aku mampu menangkap bahwa initinya kak Ridwan menyuruhku berhati-hati, dia khawatir jika aku sampai menjadi korban harapan palsu kak Willy.
—
“Vi, kakak denger kamu udah nunggu kakak hampir setahun, bener? ngapain sih kamu mau kakak gantungin kayak gini? apa begitu spesial kakak di mata kamu? mending kamu pacaran aja sama si Ridwan. Haha” aku begitu terkejut mendengar apa yang telah kak Willy katakan, apalagi ia mengatakannya dengan tertawa terbahak-bahak. Ini bukanlah lelucon! Aku benci jika masalah hati di anggapnya hanya sebatas lelucon. Seketika suhu tubuhku memanas, tenggorokanku terasa perih, mataku memerah dan berair, aku lantas berdiri dan menatap sang pujaanku itu dalam-dalam. ‘kau fikir bagaimana? aku menunggumu hampir satu tahun! Setiap hari aku terus memikirkanmu! Sebentar-sebentar tertawa, lalu menangis. Aku selalu tegar jika terkadang kau tak menganggapku! Karena aku yakin kau akan memilihku. Tapi sekarang, kau menganggap ini hanyalah lelucon? brengsek!’. Rasanya ingin sekali mengatakan itu semua, namun apa daya hati ini tak tega jika membiarkan mulutku mengeluarkan kata-kata yang begitu kasar seperti itu. mulutku membeku, air mataku mulai menetes, dan akhirnya aku berlari meninggalkan laki-laki yang selalu aku puja itu.
“kamu kenapa Vi?” Susan begitu terlihat kebingung, karena melihatku menangis seperti ini.
“kak Willy Vi. Hiks hiks” rasanya aku tak sanggup untuk menceritakan apa yang telah terjadi pada sahabatku itu. Namun Susan terus saja memaksaku untuk menceritakannya. Hingga akhirnya aku kalah, dan menceritakan apa yang telah kak Willy perbuat padaku.
“apa? bener-bener brengsek itu orang! Mentang-mentang dia terkenal, dia seenaknya mainin cewek kayak kamu!” kini Susan melepaskan pelukannya.
“Vi, kamu juga sih yang salah! Udah tau dia kayak gitu tetep aja lo tuh nunggu dia!”
Benar, benar sekali apa yang dikatakan Susan. Sepertinya aku tak pernah merasa jera untuk mencintai, menunggu, bahkan tersakiti oleh kak Willy. Dan jika harus jujur, dengan kejadian yang baru saja terjadi, itu semua sama sekali tak menjadi alasan untuk aku berhenti mencintanya. Hanya saja, aku membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkan perasaanku ini.
—
Pagi kini kembali menyapa. Namun, berbeda dengan pagi-pagi yang sebelumnya, hari ini aku begitu tak bersemangat untuk memulai hari. Seperti biasa ibu sudah ngomel-ngomel karena aku dan ayah belum juga keluar kamar. Aku melirik sebuah buku bersampul kuning yang berada tepat di sebelah pipiku. Sebuah buku diary. ‘hallo mimos, thanks ya semalem kamu udah mau jadi tempat curhatanku lagi, kamu gak bosen kan kalau aku terus tulis tentang kak Willy?’ mungkin terlihat seperti orang yang tidak waras, namun aku selalu berusaha menjadikan diary itu hidup. Mimos, biasa aku memanggilnya. Di dalam buku itu, semua membahas tentang kegalauan untuk mencintai dan menunggu sosok kak Willy. Dan ada satu fotonya yang aku tempel, yang benar-benar terlihat begitu gagah. Namun selain kak Willy, aku pun menempelkan foto kak Ridwan dalam buku diaryku itu. Aku merasa, selain foto kak Willy, akupun harus menempelkan foto kak Ridwan.
“kakak udah denger semuanya dari Susan. Terus mau kamu sekarang gimana?” aku begitu terkejut dengan kehadiran kak Ridwan yang secara tiba-tiba menemuiku di dalam kelas.
“hah? maksud kakak?”
“kamu gak perlu lagi nunggu dia”
“loh, apa sih yang kakak omongin? aku memang begitu sakit hati atas apa yang dikatakan kak Willy. Tapi sekarang udah enggak ko, kakak ga perlu khawatir, karena bahkan sekarang aku tambah yakin sama kak Willy. Kakak tau gak? tadi pagi pas aku buka pintu, ada bunga mawar tepat di depan pintu. Awalnya aku heran, tapi gak lama kak Willy lewat rumahku, dan akhirnya kita berangkat bareng deh. Hehe”
“terus kamu yakin kalau bunga itu dari dia?”
“iya dong” jawabku singkat.
Sama dengan kak Ridwan, Susan terlihat kurang begitu yakin, jika kak Willy lah yang sudah memberikanku sebuah bunga. Namun, walaupun kak Ridwan dan Susan tak menyukai kak Willy, aku tetap yakin jika suatu saat aku dan kak Willy akan bersama.
—
Tak terasa liburan akhirnya akan tiba lagi. California akan menjadi tujuan keluargaku berlibur, sama dengan liburan sebelumnya. Dan hari ini adalah hari terakhir dimana aku harus berangkat sekolah, sebelum besok aku harus pergi mengunjungi nenek dan kakekku.
“iya San, besok gue berangkat. Liburan kali ini kayaknya gue bakal kangen berat nih sama kak Willy, hehe”
“ah lo Vi, bukannya setiap liburan yang paling lo kangenin tuh si Willy ya”
“ya, iya sih. Tapi lo tau kan satu bulan ini gue lagi deket-deketnya sama dia. Gara-gara mawar itu loh San, lo masih ingetkan?”
Ya, liburan kali ini aku pasti akan begitu rindu pada sosok pujaanku itu – walaupun benar apa yang dikatakan Susan, setiap liburan yang membuat aku ingin cepat masuk sekolah ya kak Willy. Namun, kali ini berbeda, sepertinya hari terakhir sekolah ini kak Willy akan meresmikan hubungan kami. Entahlah aku begitu merasa yakin akan hari ini, apalagi tadi pagi aku melihat kak Willy membawa setangkai bungan mawar sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kelasnya.
Di dalam kelas aku terus merasa deg-degan, sepertinya Susan juga ikut deg-degan, namun dia bilang dia bukan deg-degan karena kak Willy akan menyatakan perasaanya padaku, namun sebaliknya, Susan takut jika aku hanya ke geer-an saja.
“eh ayo ayo keluar, coba liat di lapangan basket ada tontonan bagus” suara teman-teman kelasku silih berganti mengatakan hal yang sama. Aku dan Susan begitu penasaran dengan apa yang telah membuat hampir seluruh isi sekolah pergi ke lapangan basket.
“sudah lama aku terus mencari sosok wanita yang cocok untukku. Terserah kalian, kalian mau mengatakan aku playboy, cowok pemberi harapan palsu, terserah! Karena jujur, itu semua aku lakukan karena aku ingin mencari sosok wanita yang pas untukku. Dan akhirnya aku menemukan wanita cantik yang sudah mencuri perhatianku, dan itu adalah, Margaretta Putri. Retaa kamu mau kan jadi pacar aku? kalau kamu mau kamu terimalah bunga mawar merah ini”
Semua bersorak, mengatakan ‘terima’. Mungkin hanya akulah yang sangat tak kuasa mengatakan ‘terima kak Willy, Retta’ – maksudku aku dan banyak wanita yang merasa kegeer-an oleh kak Willy.
—
“kamu dingin Vi?” aku mengangguk dan memeluk lengannya semakin erat.
“mau pulang?” aku menggelengkan kepalaku.
“kakak sayang sama kamu Vi” dia mengecup keningku.
Rasanya, tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan semua ini. Aku merasa aku sudah sangat begitu bodoh, karena aku sudah bersikap seperti itu dulu. Aku selalu ingin sosok lelaki yang aku puja dulu itu peka akan apa yang selalu aku perbuat untuknya. Namun, aku sendirilah yang malah tak peka. Bodoh memang.
“Vi, sebenarnya selain kakak suka sama kamu. Ada satu hal lagi yang dulu belum sempat kakak jujur sama kamu” kini aku mengerutkan dahiku.
“memangnya apa kak?”
“kamu masih ingat kan, dengan bunga mawar yang dulu ada di depan pintu rumah kamu dulu?”
“hah? iya aku masih ingat kak, dari cowo brengsek itu kan?”
Laki-laki itu melepaskan lenganya yang sedari tadi telah membuatku tubuhku begitu hangat.
“bukan Vi, itu bukan dari Willy. Tapi itu aku yang kasih. Maaf Vi aku kurang begitu berani buat ngasih kamu bunga langsung. Aku pengecut Vi”
Aku begitu terkejut dengan apa yang telah aku dengar. Rasanya aku ingin berteriak, dan aku begitu sangat marah. Hampir kurang lebih lima menit aku diam dan menekuk wajahku, sementara kak Ridwan kini berhenti menangisi penyesalannya.
“kamu kenapa Vi? kamu marah” suara laki-laki itu begitu terdengar lirih di telingaku.
“iya kak, aku marah. Aku marah pada diriku sendiri kak. Maafkan aku kak, maaf” kini tangisku lah yang pecah. Aku memeluk erat kekasih baruku itu.
“Vi, kakak sayang dan cinta sama kamu. Mungkin dulu kakak begitu kurang pemberani, sehingga kakak hanya menganggapmu adik. Tapi ketahuilah, status kakak dan adik itu hanyalah bentuk pelampiasan ketakutan aku untuk mencintaimu.”