Saturday, 7 February 2015

TIGA RAHASIA

TIGA RAHASIA

***
Mengenakan rok pendek merah menyala, kemeja krem muda, seorang perempuan berambut pendek turun dari sedan mewahnya. Dengan tubuh langsing dan wajah menarik, ia melangkah penuh percaya diri meninggalkan tempat parkir. Beberapa pasang mata ikut mengiringi langkahnya memasuki pintu kafe.
Seorang perempuan berkaus hitam melempar sepuntung rokok yang masih menyisakan bara ke tanah dan menginjaknya kuat-kuat. Dia menepuk-nepuk pahanya, mengibas tangannya ke udara berharap tak ada sisa asap yang menempel di sekujur tubuhnya. Dengan santai, ia membuka pintu kafe dan langsung menebarkan pandangan mencari-cari.
Perempuan dengan terusan warna hijau tua terlihat berlari-lari kecil menuju pintu kafe. Rambut ikal panjangnya yang tergerai ikut melambai-lambai. Sambil berlari, sesekali ia mengangkat lengan kiri, melirik jam tangan yang melingkar di sana.
Di suatu sore yang cerah, ketiga perempuan itu duduk bersantai di suatu kafe di sudut jantung ibukota.
***
“Apa kau masih merokok?” si Rambut Ikal menoleh ke arah perempuan berkaus hitam.
“Sudah lama berhenti,” Kaus Hitam menjawab cepat tanpa ragu.
“Hebat kau. Sejak berhenti bekerja, hidupmu malah lebih teratur. Aku dari dulu tak suka melihatmu merokok.”
Kaus Hitam memalingkan wajah ke Rok Merah, “Siapa yang bisa melebihi kehebatan Bu Dokter cantik sepertimu. Eh, apa masih ada pasien yang suka menggodamu?”
Rok Merah tertawa berderai. “Sekarang aku praktik di tempat yang sama dengan suamiku. Mana ada yang berani macam-macam.”
Rambut Ikal bersuara dengan serius, “Wah,wah, kalian berdua sama sibuknya dong sekarang. Aku rasa kau dan suamimu kelelahan melayani pasien. Apa kalian tak ingin segera punya anak?”
“Ah, aku dan suamiku santai saja. Kalau belum diberi kenapa mesti ngotot?”
“Dan kalian baik-baik saja dengan hal itu? Wow, kau beruntung sekali. Suamiku dari dulu selalu ingin punya anak. Banyak anak kalau bisa. Hahahaha.” Kali ini giliran Rambut Ikal yang tertawa lepas.
“Kau sendiri bagaimana? Dari tadi sibuk bicara tentang orang lain.” Kaus Hitam mengarahkan perhatian ke Rambut Ikal.
“Jadwalku padat sekali akhir-akhir ini. Ah, kalian tak tahu rasanya punya anak 3 dengan kesibukan macam-macam. Sudah tiga bulan ini, tiap akhir pekan aku nyambi menjadi penyiar radio, lho.”
Jawaban Rambut Ikal membuat kedua temannya memekik perlahan, “wow…”
Kaus Hitam terdengar merajuk, “kenapa baru cerita, sih?”
“Aku tiap hari berkicau di twitterku. Kalian ini yang ketinggalan berita. Kenapa sih tidak aktif di media sosial?”
“Tak ada waktu.” Jawab Rok Merah cepat.
Kaus Hitam menyambung, “anakku masih kecil-kecil. Kalau di rumah rasanya seharian tak cukup menemani mereka. Energimu benar-benar luar biasa.”
Lalu, Rambut Ikal bercerita panjang lebar tentang profesi tambahan barunya. Betapa senangnya mendapat teman-teman baru. Honor tambahan yang jumlahnya tidak sedikit. Terbawa pergaulan dengan beberapa selebritis ibukota. Biarpun mereka hitungannya mungkin masih artis papan bawah, belum terlalu tenar.
“Mungkin kapan-kapan, hari sabtu atau minggu siang, abis siaran, kita janjian, yuk. Nanti kukenalkan pada teman-teman baruku.”
Rok Merah langsung menolak, “Wah, tiap akhir pekan, aku pasti ada acara berdua suami.”
Kaus Hitam tak mau kalah, “Akhir pekan ya acara keluarga, dong.”
Rambut Ikal angkat bahu, “Terserah kalian saja.”
Sesekali obrolan mereka terlempar ke masa lalu. Masa-masa belasan tahun yang lalu dimana mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu di sekolah yang sama. Derai tawa sesekali mengundang pandangan mata dari pengunjung kafe yang lain.
“Kau ingat tidak anak laki-laki kelas sebelah yang mati-matian mengejarmu? Dengar-dengar dia sedang melanjutkan S3 di Eropa. Dia dokter juga, kan? Apa kalian dulu satu kampus?”
Rok Merah tersipu malu sebelum berujar, “Tidak, tidak. Itu cuma gosip, ah. Kampusnya juga beda, kok.”
“Ah, suamimu sekarang kan tak kalah hebatnya. Ngomong-ngomong, apa tak ingin mencoba bayi tabung saja? Mertuamu pasti punya banyak kenalan dokter hebat.”
“Aku kan sudah bilang. Kami baik-baik saja. Tak terlalu memikirkan hal itu. Karier pun sekarang sedang bagus-bagusnya. Tak perlu memusingkan hal yang belum ada, kan?” Rok Merah menjawab diplomatis dengan senyuman bijak.
“Aku iri sekali pada pasangan seperti kalian.”
“Eh, bagaimana denganmu? Apa betah seharian di rumah saja? Mau gak aku kenalkan pada teman-temanku di radio? Kau ini dulu jurnalis, kan?”
“Wah, seharian di rumah bersama anak selalu membuatku berpikir waktuku tak pernah cukup.”
“Ini cuma paruh waktu saja. Mana tahu kau tertarik, coba dulu saja.”
Kaus Hitam menjawab enggan, “Tidak, ah. Aku masih mau menikmati masa-masa santai bersama anak-anak dulu.”
“Aku malah salut padamu. Apa tidak kerepotan dengan kesibukan sepanjang hari? Bagaimana kau bisa punya waktu mengurus ketiga anakmu?”
Rambut Ikal menjawab dengan percaya diri, “itu masalah pengaturan waktu saja. Anak-anak semua tak ada masalah, kok. Semuanya berjalan normal.”
“Kalau akhir pekan kau pun bekerja, kapan kau berlibur dengan anak-anak?”
“Berlibur tidak mesti keluar rumah, kan? Dan tidak mesti akhir pekan. Setiap hari aku selalu punya waktu untuk mereka.”
Kaus Hitam memandang temannya dengan kagum, “Benar-benar supermom.”
Beberapa cangkir kopi sudah hampir kosong. Piring-piring kecil berisi roti dan kue sudah tergeletak tak beraturan. Tapi suara mereka masih terdengar penuh semangat.
Beberapa kali Rambut Ikal nampak memperlihatkan foto anak-anaknya melalui layar ponselnya. Rok Merah tertegun cukup lama sebelum bergumam, “Cantik dan ganteng-ganteng, ya.”
Rambut Ikal tersenyum bangga, “Aku beruntung sekali. Mereka anak-anak yang hebat.”
Kaus Hitam menceritakan dengan detail tingkah pola anak-anaknya di rumah. Dan betapa senangnya menjadi orang yang pertama menyaksikan semua hal-hal kecil namun luar biasa itu. “Kenikmatannya tak bisa diukur dengan uang,” ujarnya penuh semangat.
Rok Merah juga ikut berbagi pengalaman menghadapi berbagai macam pasien. Dan sedikit bergosip mengenai roman picisan antara dokter dan suster yang tidak jarang ditemuinya di rumah sakit.
Kedua temannya nampak tertarik, menyimak dengan serius ucapannya. “Perawat-perawat yang baru masuk, banyak yang mencari-cari kesempatan untuk menggoda dokter-dokter muda.”
Kaus Hitam menggodanya, “Kau yakin kau tak pernah terlibat cinta lokasi seperti itu? Tak pernah naksir dengan teman doktermu yang laki-laki?”
“Eh, aku rasa malah teman dokternya yang tergila-gila padanya.”
Rok Merah mendelik sambil tertawa kecil, “Sembarangan saja kalian. Jangan lupa, aku praktik di rumah sakit yang sama dengan suamiku.”
Lalu, beberapa gelas kaca berisi minuman dingin diantarkan ke meja mereka. Pelayan kafe mengangkat gelas-gelas dan piring-piring kosong dari hadapan mereka. Tapi mereka tetap larut dalam berbagai macam obrolan.
Sekali waktu nampak mereka mengomentari pengunjung lain yang duduk di sekitar mereka. Berbisik-bisik mengenai seorang wanita muda yang nampak duduk gelisah seperti menanti seseorang. Menebak-nebak hubungan antara seorang perempuan yang sudah cukup berumur yang duduk berhadapan dengan seorang pria tampan yang usianya jauh lebih muda.
“Tidak mungkin itu anaknya.” Kaus Hitam berbicara dengan suara rendah.
“Mungkin keponakannya.” Rok Merah mengedipkan matanya.
Rambut Ikal memicingkan mata, “Aneh betul bertemu dengan keponakan sore-sore di kafe seperti ini.”
Lalu mereka saling melempar pandangan. Berusaha menyembunyikan tawa.
Gelap sudah memenuhi langit ketika mereka melangkah keluar dari kafe. Berpelukan di pintu kafe dan berjanji untuk pertemuan berikutnya yang mungkin bisa berlangsung beberapa bulan lagi.
***
Denisa menutup pintu mobil perlahan setelah menghempaskan tubuh ke dalam sedan mewahnya. Perasaannya tak menentu mengingat kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutnya tadi. “”Ah, aku dan suamiku santai saja. Kalau belum diberi kenapa mesti ngotot?”
Profesinya sebagai dokter mungkin sedang meroket. Setelah setahun lalu menggenggam gelar spesialis, resmi menjadi seorang internis, dia mulai ikut praktik di sebuah rumah sakit. Bapak mertuanya, salah seorang dokter ternama di sana, ikut memuluskan jalannya.
Siapa bilang enam tahun mengarungi kehidupan rumah tangga tanpa kehadiran anak membuat dia dan suaminya biasa-biasa saja? Hubungan mereka makin lama malah makin dingin.
Masing-masing tenggelam dalam kesibukan menangani pasien dan terus berburu ilmu yang seolah tiada habisnya untuk profesi yang cukup melelahkan ini. Akhir pekan pun diisi oleh seminar-seminar atau tenggelam dalam tumpukan diktat.
Denisa iri membayangkan kedua temannya yang sudah punya buah hati. Ada yang punya 3 malah. Kapankah Tuhan memberikan kepercayaan itu? Mungkin kehadiran seorang bayi mungil akan sanggup mengembalikan kehangatan cinta mereka kembali. Airmatanya menitik sambil mengelus-elus perutnya, “Tuhan, beri aku satu saja.”
***
Arumi menghela nafas panjang. Tidak sekali tapi berkali-kali sebelum akhirnya memacu mobilnya meninggalkan halaman kafe.
Memiliki 3 anak, berada di puncak karir sebagai salah satu senior marketing manager, siapa yang tak iri padanya? Bahkan sebagai penyiar saat akhir pekan di salah satu radio wanita ibukota, namanya mulai dilirik.
Tapi siapa yang tahu, semua hanya pelarian terhadap kekecewaannya atas kondisi dua anak terakhirnya. Mereka mungkin tidak cacat tapi mendapat vonis sebagai anak berkebutuhan khusus.
Ditutupnya rapat-rapat cerita ini kepada siapa pun. Dia takut segala puji yang sudah terlanjur disematkan untuknya mungkin akan berbalik. Mereka akan mengarahkan telunjuk menghakimi kepadanya. Seolah ini adalah hukuman atas pilihannya sebagai Ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
Arumi bahkan tak sanggup menghadapinya langsung. Empat tahun terakhir ini, dia memboyong keluarganya kembali tinggal bersama ibunya. Menitipkan pengawasan anak-anak kepada Ibu dan beberapa pengasuh anak.
Kalau boleh memilih, ingin rasanya melepaskan diri dari pencitraan palsu ini. Yang gencar dihembuskannya melalui media sosial. Ingin rasanya melepaskan diri dari puja puji, melewati waktu yang lebih panjang bersama anak-anak di rumah. Kalau saja Tuhan memutar waktu dan menganugerahkan anak-anak yang normal.
***
Rinjani menutup mata sambil menikmati hisapan rokoknya dalam-dalam. Dibiarkannya kaca jendela terbuka agar asap rokok tak terperangkap dalam mobil.
Dia memang pernah berhasil menjauhi puntung-puntung kenikmatan yang membius ini. Tapi itu dulu. Sejak dua tahun terakhir ini, begitu dia menyudahi masa-masa berkarir, dia gagal menghalau keinginannya untuk kembali merokok.
Berpura-pura menikmati masa-masa berhenti bekerja adalah hal konyol yang sering dilakukannya di hadapan orang lain. Padahal hingga kini, hatinya masih sulit berdamai dengan keputusan besar itu.
Menghabiskan waktu lebih banyak di rumah malah membuatnya merasa terperangkap tak berdaya. Pernah dicobanya untuk menjadi penulis lepas. Sekedar melampiaskan hasratnya yang pernah lama berkarir di bidang jurnalistik. Tapi hasilnya seringkali hanya ampas rokok memenuhi asbak, buku-buku bertebaran di dekat ranjang, dan dokumen di laptop yang tak berhasil diisi oleh satu kata pun.
Kembali ke dunia kerja juga bukan pilihan tepat untuk anak-anak. Suaminya lebih banyak dinas ke luar kota. Kedua balitanya berada di bawah pengawasan asisten rumah tangga dan pengasuh anak. Rinjani lebih suka menghabiskan waktu dalam kamar, atau berjalan-jalan sendiri ke mal, dan sesekali menyambangi salon.
Rinjani membayangkan kehidupan kedua temannya yang mandiri. Dia terbakar iri kepada si dokter cantik. Biarpun tanpa anak, tapi didampingi suami yang sangat pengertian. Ah, seperti apa akhir pekan mereka. Mungkin tiap minggu akan terasa bagai bulan madu.
***
Ketiga perempuan itu menembus padatnya jalanan ibukota, larut dalam keterpurukannya masing-masing. Tanpa menyadari bahwa tiap jalan cerita dalam kehidupan punya rahasianya masing-masing. Bahwa seringkali rumput tetangga tak sehijau yang tampak di hadapan mata.
(TAMAT)

0 komentar:

Post a Comment