Hidup adalah perjuangan. Tanpa perjuangan, nihil; nonsens. Walau takdir pada hakikatnya berada di tangan Tuhan, tapi itu bukanlah alasan untuk berpangku tangan, bermanja-manja dan bermalas-malasan.
Tanpa usaha, hidup akan sia-sia. Tanpa cita-cita, orientasi manusia terasa hampa. Dunia seringkali tak sejalan dengan rencana. Sehingga menimbulkan kekecewaan belaka. Tapi tidak! Jika kita mau bersandar pada-Nya; Yang Abadi. Ia selalu mengharap untuk selalu diingat oleh kita. Ia tidak ingin diduakan atau kita berpaling dari-Nya. Sebab semua ada karena-Nya; karena kehendak-Nya.
Dan kita, hanyalah manusia berlumur dosa. Lemah tak berguna. Tanpa daya, tanpa memiliki apa-apa. Tapi kenapa, kita selalu angkuh dan congkak terhadap sesama, terhadap sesama makhluk Tuhan yang dicipta dari cairan hina?
Kita telah alpa. Alpa terhadap hakikat penciptaan kita sendiri. Sehinggga di zaman ini, kita telah menciptakan mesin-mesin yang terkadang dapat menipu kita, sehingga kita percaya bahwa mesin itu cerdas. Padahal kecerdasan mesin itu semu. Yang cerdas adalah kita, ya…manusia.
Sebagaimana Descartes yang percaya bahwa, ketika pikiran berjalan, maka terdapat interaksi konstan yang berlangsung antara ‘ruh’ dan ‘materi’. Karena itu pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu. Tapi di satu sisi ia juga dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls tercela. Tujuannya, agar akal dapat memegang kendali. Dengan demikian manusia memiliki kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul dari badan. Kedua tungkai kita dapat menjadi tua dan lemah, punggung dapat menjadi bungkuk dan gigi bisa saja tanggal, tapi tidak dengan akal. Akal tidak dapat menjadi bungkuk dan lemah.
Plato berkata: akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari anggota ini, memiliki cita-citanya sendiri. Akal mencita-citakan kebijaksanaan, kehendak mencita-citakan keberanian, dan nafsu harus dikekang sehingga kesopanan dapat ditegakkan. Semuanya, terdapat pada diri seorang manusia. Jika nafsu tak lagi dapat dikekang, ia tak ubahnya hewan atau binatang. Tetapi, jika nafsu telah tunduk dan takluk, maka manusia laksana malaikat yang senantiasa taat kepada Penciptanya.
Dan relita berkata yang semestinya. Kekerasan, perampasan hak, intimidasi, genosida dan lain sebagainya, telah menunjukkan kepada kita tentang perangai manusia yang sebenarnya. Bahwa manusia ternyata juga bisa lebih liar dan buas daripada binatang. Inilah manusia, makhluk egois yang ‘katanya’ berpredikat sebagai khalifah-Nya. Penuh hipokritas dan dusta. Khianat sudah tak terhitung lagi banyaknya…
Tapi mengapa…dan mengapa, Tuhan menyebut manusia sebagai makhluk paling sempurna?(*)